25th Temptation

12.1K 2.6K 310
                                    

25th Temptation
¤¤¤

“Centang satu, Bi.”

“Coba telepon, deh!”

“Kalo chat-nya aja centang satu, mau ditelepon sampe penduduk Bikini Buttom pindah ke daratan Jawa juga nggak bakal tersambung, Ogeb!”

“Yang nyuruh lo nelepon pake aplikasi chatting siapa?”

“Gue nggak ada pulsa.”

“Ya ampun, kayak anak orang susah aja sih lo, Bi!”

“Gue males ngisi pulsa, lo tahu sendiri kartu SIM yang gue pake suka ngeselin. Kalau kuota habis sebelum waktunya, pulsa kepotong tanpa pemberitahuan. Kan mabok!”

“Ganti kartu lah.”

“Ribet masih mau ganti kartu segala. Nelepon pake hape lo aja.”

“Lah, gue juga nggak ada pulsa.”

Tolong katakan pada Safir sekarang. Hal apa yang lebih menyebalkan dari seseorang yang menyalahkanmu, sedang dia juga begitu? Bahkan mungkin lebih parah!

“Terus lo kenapa malah nyalahin gue, Jokooooo!” kesal, ia toyor kepala saudara kembar yang selalu meminta dihormati hanya karena lahir lima menit lebih awal darinya itu. Sukses membuat tubuh Rubi terdorong beberapa langkah lantaran ia yang tak siap mendapat serangan sedang berdiri dengan menumpu pada satu kaki. Kardus berukuran sedang berada dalam pelukannya. Tidak terlalu besar memang, tapi lumayan berat. Oh, lebih berat dari sekardus air mineral dalam kemasan gelasan. Entah apa isinya. Mungkin emas lima belas kilo? Rubi dan Safir tidak tahu, pun tak berani mencari tahu takut kakaknya yang suka marah-marah mengamuk bila mereka lancang.

Oh, Lili memang sensitif. Sangat sensitif. Tiada hari bagi si sulung tanpa berwajah suram dan menyeramkan. Sepasang alisnya yang lurus dengan lengkung di ujung, nyaris selalu dikawinkan hingga membentuk huruf V di keningnya. Bila si kembar sedikit saja melakukan kesalahan, oh ... kiamat kecil akan terjadi.

Sialnya, si kembar suka menghadapi kiamat kecil di rumah besar mereka. Karena bila sampai Lili marah, dia akan mengejar keduanya untuk memberi pelajaran, katanya. Sayang, tubuh Lili yang mungil selalu kesulitan menangkap adik-adik yang berkaki panjang. Ujung-ujungnya, mereka hanya akan menciptakan kekacauan. Membuat posisi sofa berubah, bahkan pernah beberapa kali sampai memecahkan guci besar kesayangan papa.

Hal tersebut sangat menyenangkan, tapi tentu tak bisa sering-sering dilakukan. Karena papa akan selalu menyalahkan Lili untuk segala sesuatu hal buruk yang terjadi di rumah, bahkan sekali pun bila si kembar mengakui bahwa salah satu dari merekalah pelakunya.

“Papa tahu kalian anak-anak yang baik, tapi jangan pernah mengakui kesalahan dari orang lain, Nak,” kata beliau sambil memelototi Lili yang berdiri di samping sofa, sedang si kembar di seberangnya, menatap dengan pandangan aneh karena Lili bahkan tak pernah sekali pun berusaha membela diri. Padahal, memang si kembar pelakunya. Lebih tepatnya, Safir. Dia tak sengaja menyenggol guci antik yang diangkut langsung dari Negeri Tirai Bambu itu saat berlari.

“Kenapa Lili nggak jujur sama Papa? Kenapa Lili nggak bilang kalau bukan Lili yang pecahin? Ini salah Safir!” tuntut Rubi di satu waktu, yang kakaknya balas dengan dengusan dan alis yang dilengkungkan.

“Kalau pun gue ngelak, emang papa kalian bakal percaya?”

Papa kalian. Berlian selalu menyebut Harry dengan kata itu. Seolah anak Harry hanya dua. Seakan Berlian manusia antah-berantah yang terjebak di sana. Padahal, dari wajah dan sikap saja, tak perlu dilakukan tes DNA untuk membuktikan hubungan darah antara keduanya. Hanya saja, Berlian dan Harry memang memiliki hubungan yang cukup aneh dan rumit. Yang tak bisa si kembar mengerti.

Tempt the AfternoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang