12th Temptation

11.3K 2.7K 354
                                    

12th Temptation
¤¤¤

P

intu ganda utama yang besar, tinggi dan berukir rumit itu perlahan terbuka. Lampu ruang tamu depan yang semula mati pun otomatis hidup. Berlian berkedip, mencengkeram tali tas selempangnya seiring dua papan kayu di depannya yang bergerak, menyiapkan mental untuk menghadapi sang ayah. Harry Abimana, lelaki paruh baya yang masih tampak bugar dan tampan di usianya yang sudah menginjak pertengahan kepala empat, seolah tak pernah bertambah tua sejak ulang tahun ke tiga puluh beberapa belas tahun lalu.

Ini sudah pagi buta, tapi Berlian tahu sang pemimpin jaringan Abimana Properti yang baru-baru ini mulai merambah bisnis hotel dan wisata pasti belum tidur. Pewaris tahta kakeknya yang sombong bahkan terkadang baru pulang rapat pada jam ini dan bersiap istirahat. Karena faktanya menjadi orang kaya tidak semudah itu. Terlalu banyak hal yang hatus dipikirkan. Terlalu banyak hal yang musti ditanggung. Terlalu banyak yang harus direncanakan. Belum lagi urusan beliau dalam dunia politik yang juga cukup menguras waktu.

Berlian sudah hapal mati dengan jadwal Harry, sehapal ia pada denah rumah tempat tinggal mereka.

Ya, di sana, di ruang depan mewah yang didominasi warna emas di setiap sudut—lelaki itu mencintai kemewahan dan segala hal yang menggambarkannya—Hatry duduk bagai raja di atas singgasana. Sofa cokelat dengan sandaran beraksen kayu jati tua dengan ukiran elang yang dicat mencolok itu didatangkan langsung dari Kalimantan. Harganya cukup mencengangkan, tapi tak seberapa bagi kantong Abimana yang bahkan bisa membeli harga diri seseorang.

Seseorang yang ditakdirkan menjadi ayah Berlian duduk angkuh dengan dua tangan menyandar penuh kuasa pada lengan sofa. Wajahnya lurus mengarah pada pintu utama yang terbuka, ke arah si sulung yang berdiri dengan dagu terangkat tinggi.

Bila ada keturunan Harry yang menuruni sifat dan kepercayaan lelaki itu, maka Berlian lah orangnya. Yang lain terlalu lemah. Terlalu penakut. Terlalu menyebalkan. Dan terlalu dimanja.

"Ah, selamat datang kembali, Nak." Harry menyapa tanpa mengubah posisi duduk. Dia menatap Berlian dengan mata setengah tertutup, bagai macan kumbang siap menerkam mangsa dengan bahasa tubuhnya yang gesit dan seolah tak berbahaya.

Berlian terlalu mengenal Harry untuk merasa terancam.

"Bagaimana liburan kamu? Menyenangkan?"

Itu adalah pertanyaan sindiran, karena bahkan Harry sudah mengetahui segalanya. Segalanya. Tangan kanan sang ayah ada di mana-mana. Berlian tahu ia tidak pernah sendirian—dalam arti nyata—karena mata-mata Harry selalu mengamati punggungnya.

"Menyenangkan," Berlian menjawab kaku, "sangat menyenangkan."

"Tentu saja," Harry mengedikkan bahu, "pengalaman pertama dalam penerbangan kelas ekonomi. Tanpa uang sepeser pun. Pasti seru."

Berlian makin mengeratkan pegangannya pada tali tas. Menatap sang ayah dengan amarah yang menyala-nyala. Ia malas bertele-tele. Berlian tahu Harry punya maksud dengan sambutan ini. Jadi, memberanikan diri, ia melangkah maju melewati batas ambang pintu utama dengan punggung tegak. Yang langsung mendapat cercaan dari si sombong yang menatap sepasang kaki putrinya dengan alis terangkat.

"Siapa yang menyuruh kamu masuk?"

"Ini rumahku!"

"Oh ya? Sejak kapan, Sayang?"

"Sejak aku dilahirkan."

Mendengar jawaban berani Berlian yang mengungkit kelahirannya, geraham Harry mengencang. Terlihat tidak senang. Baginya, Berlian memang sebuah kutukan. Pembawa sial. Atau apa pun istilahnya. Yang pasti, seorang Berlian hanya beban yang harus ditanggung.  Harry bahkan tidak sudi memberikan nama belakang keluarga pada si sulung yang sejak awal tidak pernah ia anggap ada.

Tempt the AfternoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang