16th Temptation

10.4K 2.6K 214
                                    

16th Temptation
¤¤¤

“Oke, Guys, hari ini kita akan tutup kafe lebih awal. Ada pasar malem deket sini yang baru buka. Refreshing kita. Tapi buat kalian yang nggak mau ikut, nggak apa-apa pulang duluan.”

“Ada yang gratisan kok nggak ikut sih, Bos," cetus Joni menanggapi. "Gratis kan? Dibelanjain juga, kan? Anggap aja sebagai penebusan dosa karena kemarin ke Bali oleh-olehnya cuma ganci doang!” tambahnya dengan lancang, seolah Naren bukan atasan melainkan hanya teman main.

Mungkin ini salah satu alasan para karyawan K(af)eRen seperti tidak memiliki batas dengan pimpinan, karena Narendra terlalu santai. Pun terlalu memberi kelonggaran. Menutup kafe lebih awal hanya untuk jalan-jalan bersama pegawainya ke pasar malam? Agenda macam apa itu?

Sejauh yang Berlian tahu, saat malam kafe ini lebih ramai dari siang hari. Bila tutup lebih awal hanya untuk hiburan tidak berguna, tentu akan mengurangi keuntungan maksimal yang seharusnya bisa didapatkan. Kalau seperti ini terus, kapan Narendra akan menjadi kaya raya?

Selain itu, strategi bisnisnya juga keliru menurut pandangan Berlian. Dari yang dia dengar sejauh ini, Narendra berniat membuka cabang di Bali. Itu terlalu jauh. Selain lokasi yang tidak bisa setiap hari dijangkau, orang-orang Bali tentu belum mengenal K(af)eRen yang sejak berdiri memang beralokasi di Jakarta. Seharusnya, Naren membuka cabang di tempat yang tidak terlalu memakan jarak. Bekasi atau Bogor misal untuk langkah awal. Selain masih dalam pantauan, K(af)eRen tidak harus merintis dari awal dan memperkenalkan menu lagi, karena kemungkinan di daerah yang lebih dekat kafe ini sudah pernah terdengar gaungannya, dan akan lebih mudah mendapat pelanggan-pelanggan baru.

Namun, pola pikir Narendra memang berbeda. Bayangkan saja, dia memilih menjomlo sejak lahir hanya untuk menyenangkan seseorang yang akan menjadi istrinya kelak. Istri yang sudah ia bidik. Syifa. Dan pemikiran tersebut serta-merta membuat Berlian langsung menoleh pada wanita yang dimaksud. Si kepala koki berhijab yang sedang menikmati santap siangnya sambil bercanda dengan karyawan lain dalam satu meja. Oh, Naren ada bersama mereka. Duduk tepat di seberang Syifa. Para karyawan membentuk kelompok-kelompok di jam istirahat di ruang khusus. Hanya dirinya yang sendirian di pojokan, menikmati jatah makan dalam diam.

“Boleh-boleh,” jawab Naren atas pertanyaan salah satu pegawainya yang tidak tahu diri. Yang tentu disambut sorai gembira, tapi langsung berubah menjadi gertuan saat bos mereka melanjutkan, “Nanti, totalnya dikurangi dari gaji bulanan. Sepakat?”

“Huuu ... kalau gitu sama aja bohong lah, Bos.”

Naren hanya tertawa menanggapi protesan mereka. Dan seperti menyadari sedang diperhatikan, pandangan lelaki itu jatuh ke pojok ruangan. Pada Berlian yang langsung mengalihkan pandangan dengan pipi merona. Entah mengapa tiba-tiba merasa malu.

Namun Naren yang memang mungkin tidak berniat membuat hidupnya yang berantakan tenang barang sejenak, langsung bersuara, sengaja ditujukan kepada karyawan barunya yang malang. “Lili, ikut?” Ia bertanya dengan nada mengejek yang tak kendara. Seringai kecil bagai kibar bendera tanda perang tersemat di ujung bibirnya.

Narendra pasti tahu, atau sudah bisa menebak, seorang Berlian yang selalu lelaki itu ejek dengan sebutan anak Sultan, pasti belum pernah pergi ke pasar malam.

Sial!

Lebih sial lagi, sekarang semua mata para karyawan langsung menoleh padanya secara serempak. Sebagian mengangkat alis, seolah baru menyadari keberadaan Lili si karyawan baru yang jelek tapi sombong berada di ruang yang sama.

Padahal, Berlian memang bermaksud tidak ikut. Malas. Pasar malam pasti ramai, dan mungkin juga ... kumuh? Di sana mereka akan berbaur dengan orang-orang kalangan bawah. Tawar menawar benda murahan dan naik wahana seadanya. Berlian beberapa kali pernah lewat di pinggir pasar malam. Hanya melihat dari jendela mobil saja dia sudah merasa enggan datang ke sana. Lebih baik ke mal sekalian kalau ingin belanja. Atau ke Dufan untuk bermain. Tapi, Berlian tidak pernah mengabaikan tantangan. Maka mengangkat dagu lebih tinggi, ia menjawab, “Ya,” dengan lantang. Membalas tatapan Narendra tepat di matanya yang berwarna cokelat hangat.

Tempt the AfternoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang