10th Tamptation
¤¤¤Terserah.
Berlian meminta putus dan Akira bilang terserah?
Jadi, begini akhir hubungan yang sudah mereka jalin selama tiga tahun?
Berlian tertawa setengah histeris. Lalu, apa arti tiga tahun ini bagi Akira? Atau memang sejak awal tidak ada artinya. Harta berarti segalanya bagi lelaki itu. Hanya separuh harta, yang bahkan bisa didapat kembali dengan mudah menggunakan otaknya yang cerdas itu.
Namun, pada akhirnya tetap Berlian yang harus mundur, kan? Pada akhirnya, dia tetap pihak yang kalah.
Kalah. Berlian mengepalkan dua tangannya di samping tubuh. Kukunya yang panjang dan terawat menekan kulit tengah telapak putihnya hingga terasa perih. Akira sudah memutuskan. Tidak ada masa depan untuk mereka. Sejak awal tidak pernah ada. Seharusnya Berlian memang tidak perlu harus mencoba sampai sejauh ini. Membuang-buang waktu selama bertahun-tahun demi apa?
Hanya pertaruhan konyol yang sedari dulu hasil akhirnya sudah dipastikan.
Tidak harta yang memang sudah menjadi hak lahirnya. Tidak juga keluarga sendiri yang sejak dulu dia inginkan.
Berlian pikir, dengan Akira dua hal itu akan bisa terwujud. Nyatanya, lelaki ini adalah bentuk kehancuran yang lain.
"Jadi, kamu lebih memilih Nara?" tanyanya bahkan tanpa menatap wajah lelaki itu yang kini bahkan membuatnya muak. Muak pada Akira. Muak pada keputusan bodohnya di masa lalu. Muak pada garis takdir yang selalu ... selalu seperti ini. Berlian mengepal tangan lebih erat hingga rasa perih di telapaknya kian tajam.
"Kamu tahu, aku nggak ada dalam situasi bisa memilih, Lian. Aku nggak punya kebebasan sebesar itu!" Akira memerhatikannya dari ranjang dengan tatapan yang dulu selalu berhasil membuat hati Berlian luluh. Dulu. Tidak lagi sekarang.
Tiga tahun sudah membuktikan betapa bodohnya Berlian. Dan lebih dari itu, berarti dia benar-benar dungu bila masih bersedia menunggu. Waktu terlalu berharga untuk dibuang percuma, apalagi hanya karena laki-laki yang tidak bisa tegas atas pilihannya.
"Kamu punya, Akira. Kamu selalu punya kebebasan memilih." Menarik napas panjang untuk meredakan emosi yang meledak-ledak dalam dirinya, Berlian melangkah kaku ke arah jendela, lantas berdiri di sana. Dua tangannya tak lagi terkepal. Emosi yang berkobar, ia lampiaskan pada besi terali dalam cengkeraman erat hingga urat-urat tangannya menonjol. "Tapi sejak awal, aku memang nggak lebih berharga dari harta kelurga kamu," gerahamnya mengeras, "atau mungkin dari Nara."
"Jangan pancing aku, Lian! Kamu tahu, kamu jauh lebih berharga dari wanita itu!" Karena Berlian bahkan lebih peduli tentang dirinya, tentang semua pekerjaan yang menguras lelahnya di banding Nara yang selalu memikirkan uang dan uang.
"Oh ya?" Nada remeh dan menyebalkan itu sudah pasti berhasil membuat kekasih, ah ... mantan kekasihnya kesal. Berlian menoleh sedikit ke belakang, sebatas bisa menangkap sosok Akira yang duduk kaku dengan rahang terkatup dan bibir menipis lantaran emosi.
Ya, Akira memang harus marah. Berlian tidak terima bila dirinya terbakar sendiri di sini.
"Jangan egois, Li! Ada Mama dan adik-adikku. Mereka lebih berhak atas harta Papa ketimbang Nara!"
"Dengan separuh harta keluarga Arundapati, mama dan adik-adik kamu akan hidup makmur selamanya. Dia tetap bisa melakukan apa pun. Jangan bodohi aku, Akira." Arundapati bukan keluarga yang bisa diremehkan. Dalam dunia bisnis, nama itu tertoreh menggunakan tinta perak. Yang berarti sangat diperhitungkan. Karenanya Harry, ayah Berlian bersedia menyiapkan taruhan besar hanya untuk bisa menjadikannya menantu. "Fio juga sudah akan menikah. Kamu kenal calon suaminya. Tanpa harta keluarga kalian, dia akan tetap sama kaya dengan hari ini." Berlian mengernyit saat memaparkan fakta tersebut langsung dari bibirnya. Menyadari bahwa ... Arundapati memang sekaya itu. Seperempat dari aset yang mereka miliki masih terlalu banyak. Tapi, bahkan Akira tidak bisa mengorbankan sedikit untuk dirinya. Entah dia yang terlalu cinta dunia, atau tidak pernah berani kehilangan Nara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempt the Afternoon
RomanceWarning! Cerita ini hanya fiksi. Ambil bagian terbaiknya dan buang segala keburukannya, oke. Bacalah saat benar-benar luang. ¤¤¤ Narendra Narespati. Penyuka aroma hujan, semburat fajar dan motor vespa tua hadiah ayah tirinya yang sudah sering keluar...