3rd Temptation

15K 2.8K 435
                                    

3rd Temptation
¤¤¤

Ah, kesenangan ini terlalu cepat berlalu.

Naren mendengus jengah, menatap punggung pasangan paling memuakkan abad ini yang melangkah menjauh dari pandangannya sambil bergandengan. Oh, mesra sekali mereka, pikirnya jijik.

Lian seharusnya belum menyelesaikan hukuman. Sama sekali belum. Seharusnya dia mencuci piring sampai—minimal—jam tiga pagi, andai Akira tidak bersikap sok kesatria yang datang kemalaman.

Ya. Akira datang. Menjemput Lian yang sedang mencuci piring kotor. Mengakhiri segala kesenangan yang baru beberapa saat Naren rasakan. Huh, ini bahkan belum sampai dua jam!

Menurunkan tangan-tangannya kembali ke sisi tubuh, Naren berbalik, melangkah menuju bak cuci. Lantas berhenti tepat di depan pecahan piring yang berserakan di lantai. Buah karya terbaik seorang Berlian. Naren berjongkok, mengambil serpihan beling paling besar, dan tak bisa menahan diri tersenyum geli kala mengingat ekspresi Berlian saat ia menyuruhnya melakukan tugas rendah ini.

Wanita manja itu menolak awalnya, tentu saja. Ia berkacak pinggang, mendongak tinggi demi bisa menatap Naren penuh ancaman dengan matanya yang agak sipit, barangkali bermaksud mengintimidasi yang sayangnya gagal. Naren jelas tidak mungkin terintimidasi oleh kurcaci yang bahkan tidak setinggi bahunya!

“Gue nggak mau!” ujarnya keras dengan napas memburu penuh emosi.

“Saya tidak memberi pilihan.”

“Terserah. Gue tetep nggak mau. Gue pelanggan di sini, dan pelanggan adalah raja. Sedang lo ... siapa lo?”

“Saya Narendra.” Naren masih menanggapi santai. Terlalu santai hingga membuat Berlian kian berang. Lihat saja gerahamnya yang kecil itu mengencang, juga mata malangnya yang dipaksa melotot kian lebar. Dasar cantik, mau berekspresi seperti apa juga, dia tetap terlihat luar biasa. Fakta yang sungguh Naren benci.

“Gue nggak peduli apa pun nama lo. Yang perlu lo tahu, kalo lo berani macem-macem, gue bisa bikin lo jadi gelandangan detik ini juga!”

Oh, sombongnya! Naren memutar bola mata jengah.

“Gue ...” Berlian yang terhormat melanjutkan aksi menyombongkan dirinya. Kali ini sambil menuding diri sendiri, “Berlian Pratista—”

“—simpanan Akira Arundapati, saya tahu,” sela Naren masih dengan nadanya yang terdengar jengah dan menyebalkan.

Berlian jelas terkejut. Tentu saja. Terlihat jelas dari pupilnya yang agak menyecil dan bibirnya yang sedikit terbuka. Dia kembali kehilangan kata-kata. Menarik napas, wanita itu membasahi bibir bawahnya, berusaha membalas Naren, tapi sayang hanya bisa menutup mulut kembali sebelum mengerang. “Siapa sebenarnya lo?” tanyanya kemudian dengan suara yang lebih rendah, dan terdengar lebih tajam. “Akira pacar gue. Calon suami gue! Dan gue jelas bukan selingkuhannya!”

“Mengingkari kenyataan tidak ada gunanya.”

Tangan-tangan mungil Berlian yang lentik, yang semula terkepal di pinggang, turun kembali ke sisi tubuh. Kali ini dia menatap Naren waspada.

“Siapa pun lo,” desisnya, “dari mana pun lo tahun tentang gue dan Akira, yang perlu lo tanam di otak lo adalah bahwa, pernikahan Akira selain sama gue hanya sebuah kebohongan!”

“Kebohongan yang nyata.”

“Senyata apa pun segala sesuatu yang tidak dibarengi dengan kesungguhan, hanya lelucon!”

“Lalu, kalau pernikahan Akira dan istrinya hanya lelucon, lalu hubungan Anda dengan Akira bisa kita sebut apa?” Berlian pendek, Naren lelah harus menunduk lama-lama demi bisa memandang matanya yang berpendar penuh emosi itu dalam-dalam. Sialnya, pesona tersembunyi di mata itu membuat Naren tidak jera. Berlian memiliki mata yang gelap dan penuh misteri, seperti samudra yang tampak pada malam hari. Kelam. Dalam. Menyesatkan. Dia juga memiliki wajah belia yang menipu. Andai Naren dari awal tidak mengetahui bahwa gadis ini—atau mungkin sudah bukan gadis lagi—perebut suami orang, Naren pasti berhasil dikelabui wajah malaikatnya yang bersemayam dalam jiwa keji.

Tempt the AfternoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang