Simbiosis mutualisme. Jadi, begitu ya?
Berlian menahan diri untuk tidak tertawa. Menerrawakan kisah bualan yang ia dan Akira ciptakan sendiri.
Benar, selama ini lelaki itu hanya menjadikannya pelampiasan dari kekecewaan terhadap keputusan sang ayah sekaligus pelarian lantaran perkawinannya yang tak bahagia.
Syukurlah, Berlian tak harus merasa bersalah lantaran memanfaatkannya demi kepentingan pribadi, karena toh selama ini hubungan mereka memang sepalsu itu. Namun bagaimana pun, ia tetap bersyukur atas kehadiran lelaki ini. Yang selalu menawarkan rumah saat ia tidak tahu ke mana harus pulang. Yang menyediakan bahu ketika ia merasa sendirian. Yang menjadi kawan kala ia merasa seluruh dunia seolah melawan.
Lalu sekarang, lagi-lagi Akira menawarkan perlindungan. Tawaran menggiurkan, tentu saja. Tapi, tidak. Percuma bersembunyi di balik bahu Akira saat ia tahu dirinya tak akan mendapatkan apa-apa, hanya menyia-nyiakan hidupnya lebih lama.
“Aku memanfaatkanmu, dan kamu memanfaatkanku. Semenyedihkan itu kita, ya?”
Akira terkekeh pelan mendengar komentar sinisnya tentang hubungan mereka yang memang ... miris sekali. Dua manusia yang merasa dunia sangat tidak adil, berusaha mencari keadilan lain dalam bentuk mendustai diri. Entah dengan Akira, tapi Berlian jelas membodohi hatinya dengan meyakinkan bahwa ia akan mampu mengalahkan Harry. Akira adalah senjata andalan, yang pada akhirnya tetap kalah hanya dalam satu tembakan dari rudal sang ayah. Karena sejak awal, Harry sudah mengetahui titik buta Berlian dan membidik tepat dari sisi itu. Memastikan Berlian tidak pernah menang.
Berdiri, Akira meraih tangannya tanpa tadeng aling-aling. Membuat Berlian sedikit berjenggit karena tak menyangka akan mendapat sentuhan itu. Ia berusaha menarik diri tepat saat kelebat bayangan bergerak samar tak jauh di samping mereka.
Kecurigaannya terbukti benar. Memang ada yang memerhatikan mereka sejak tadi. Berlian mengedip pelan, batal menjauh dari sang mantan. Ia menahan diri untuk tak menampakkan seringai. Bayang-bayang di balik palem itu jelas merupakan siluet seseorang, bukan pelepah yang melambai. Laki-laki. Bulu roman Berlian meremang saat suara dalam benak meneriakkan nama Narendra keras-keras. Pria itu yang paling berkeras memisahkannya dan Akira demi melindungi Nara.
Melindungi Nara.
Berlian menarik napas panjang tanpa suara sebagai upaya menekan perasaan menyedihkan yang mulai timbul ke permukaan. Rasa tidak suka yang ... membuatnya bertanya-tanya. Kenapa?
Lalu seolah mengerti kecamuk dalam benaknya, genggaman Akira pada tangan Berlian mengerat, lantas menarik tubuh wanita itu dalam rengkuhan familier. Dan Berlian mendapati diri tidak menolak, ia justru membalas pelukan itu tanpa mengalihkan ekor matanya dari sudut tempat bayang-bayang tadi berkelebat.
Narendra harus tahu, dia tidak punya hak atas Berlian di luar kafe. Pun lebih dari itu, sesuatu yang ada di antara mereka tak boleh lebih dari batas yang bisa ditanggungnya.
Ya, ada sesuatu. Yang asing dan mendebarkan setiap kali ia bersama Narendra. Setiap kali tatapan mereka bertemu. Setiap kali saling berselisih. Berat diakui, Berlian menikmati momen-momen itu.
Mungkin karena belum pernah ada yang memperlakukannya seperti Naren. Yang terang-terangan menghardik, tapi juga datang untuk membantu saat ia butuh uluran tangan. Yang menyikapinya dengan manusiawi, sama sekali tidak memandang status tinggi rendah strata sosial. Dan hal itu, tanpa disadari membuat Berlian merasa dihargai. Dihargai sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai putri Harry Abimana yang selalu dihormat dan disegani. Bukan pula sebagai si cantik yang memikat hati. Melainkan hanya sebagai seorang Berlian.
Namun bila rasa penghargaan ini dibiarkan, Berlian tahu itu akan menjadi bumerang untuknya di kemudian hari.
Karena sekali lagi, ia tidak akan dipilih. Sebab bila diibaratkan tim dalam sebuah permainan bocah, ia hanyalah pengikut bawang. Yang tak pernah dianggap penting. Baik dalam hidup Akira, atau Narendra.
Dan, seolah kembali bisa membaca kecamuk dalam benaknya, Akira meminta maaf. Dengan maaf itu, Berlian tahu hubungan mereka resmi berakhir. Sampai di sini. Tanpa dendam dan sakit hati. Karena pada dasarnya, ia dan Akira sama-sama keliru. Sejak awal.
Merasa segalanya sudah tuntas, Berlian pamit pergi. Ia harus segera kembali sebelum denting jam sembilan memanggilnya paksa. Ia tidak ingin menjadi Ella yang lupa waktu hingga harus pontang-panting lari sampai salah satu sepatunya lepas. Karena ia tahu, sang pangeran tidak akan mengejar.
Jangankan mengejar, menawarkan diri untuk mengantar pulang pun tidak. Bukan berarti Berlian berharap, hanya menyayangkan uang di dompet yang harus berkurang demi ongkos transportasi. Ingat, ia rakyat jelata sekarang.
Dengan punggung tegak dan langkah mantap, Berlian menjauh. Pun Akira yang berbalik pergi tanpa menunggu sosoknya menghilang. Yah, setidak berati itulah Berliana bagi Akira atau dunia. Tapi, tak apa. Begini lebih baik.
Melirik sekali lagi ke arah palem rendah tak jauh dari tempatnya dan Akira berbicara, Berlian berjalan ke sana yang kebetulan searah dengan pintu keluar.
“Sandiwaranya udah kelar, Bambang. Sekarang lo udah bisa keluar,” katanya dengan nada yang ia usahakan terdengar santai.
Sebelum sosoknya muncul, Naren mendesis. Entah kesal karena ketahuan mengintip, atau marah padanya yang sudah lancang kembali menemui Akira.
Berlian menampakkan senyum cemooh padanya. “Masih belum jam sembilan, Pak. Saya tidak melanggar batas waktu. Kenapa masih diawasi juga?”
Ekspresi Naren menggelap. Rahangnya mengeras. Tatapan remehnya seolah memang disengaja untuk membuat sang lawan bicara terluka. “Bukan demi kamu!” balasnya dengan nada kasar. “Jadi, berhasil menjaring suami orang lagi, Berlian? Bagaimana sekarang? Akira sudah bersedia menikahi kamu? Atau kamu tetap hanya menjadi penghangat ranjangnya saja dengan imbalan kemewahan?” tambahnya dengan serbuan pertanyaan menyakitkan. Sangat menyakitkan.
Berlian mengepalkan tangan-tangannya erat, gatal ingin menampar. Tapi, ia tahan. Ini yang dirinya butuhkan. Kebencian Narendra, karena kebaikannya sudah lebih dari cukup.
Jadi, mendongak makin tinggi, Berlian tatap kelereng cokelat hangat yang malam ini tampak dingin dan gelap. Bibirnya yang kebas dan terasa kaku, ia tarik paksa membantuk lengkung senyum manis. “Belum dapat pernikahan, Pak. Sabar. Tapi, saya sudah dijanjikan rumah. Hanya dengan rayuan kecil, saya sudah dapat sesuatu sebesar itu. Tapi, sampai rumah itu benar-benar bisa saya kuasai, saya harap Anda masih bersedia menampung saya. Sebentar lagi. Hanya sebentar.”
Bukan hanya lidah Naren yang mengandung bisa, lidah Berlian juga, meski mungkin memang tidak semematikan tuduhan lelaki itu.
“Lo!”
“Apa?” Berlian mengangkat satu alisnya, menampilkan ekspresi tak berdosa. Dalam hati harap-harap cemas, takut Naren akan langsung memecat. Karenanya ia buru-buru berkata, “Sudah hampir jam sembilan, saya harus segera pulang sebelum kena marah bos.” Seolah seseorang yang diajak bicara bukanlah bosnya.
Tanpa menunggu balasan Narendra, Berlian cepat-cepat pergi. Membawa hatinya yang tak lagi berbentuk dengan penuh harga diri sebelum Naren sempat menghentikannya dengan kata keramat yang sangat ia hindari. Pecat.
Meski kalau mau, Naren bisa melakukannya sekarang juga. Tapi, tidak. Dia hanya menatap Berlian penuh benci. Ah, ya. Naren sudah membayar separuh dari gajinya sedang Berlian baru bekerja beberapa hari. Lelaki itu mana mau merugi. Minimal, Berlian masih harus bekerja selama setengah bulan.
¤¤¤
Maaf, telat update, dikit pula. Lagi sibuk banget, Cah. Mungkin saya bisa update lago setwlah tanggal 19 Nov ya.
Esto bule dhin dhika, Cah😘
Pamekasan, 13 Nov 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempt the Afternoon
RomanceWarning! Cerita ini hanya fiksi. Ambil bagian terbaiknya dan buang segala keburukannya, oke. Bacalah saat benar-benar luang. ¤¤¤ Narendra Narespati. Penyuka aroma hujan, semburat fajar dan motor vespa tua hadiah ayah tirinya yang sudah sering keluar...