14th Temptation
¤¤¤Baru sekali ini saja Naren jumpai di depan mata kepalanya sendiri jenis manusia yang datang melabrak untuk mendapat pekerjaan!
Dengan apa katanya tadi?
Gaji yang wajar, tempat tinggal serta makan. Uh oh, apa Berlian mengira dirinya calon dokter atau pejabat, yang semua fasilitas sehari-hari dipenuhi? Kenapa tidak sekalian minta uang tunjangan dan kendaraan juga? Biar Naren bisa langsung mendepaknya keluar dengan alasan wanita ini sudah gila. Alih-alih pekerjaan, yang Berlian butuh mungkin dokter jiwa.
Tukang cuci dan bersih-bersih saja melunjak, padahal belum juga diterima.
Bersandar pada punggung kursi, Naren melipat tangan di depan dada. Matanya tak lepas mengamati Berlian yang balas menatap ke arah ... keningnya. Sama seperti yang wanita itu lakukan saat berusaha meminjam sepuluh juta pada Naren di Bali. Dia tidak berani memandang langsung ke mata sang lawan bicara.
Barangkali karena ego. Harga diri Berlian ini setinggi langit, jangan lupa. Sulit untuk diruntuhkan. Lihat saja saat ini, meminta posisi pelayan tapi tingkah bagai ratu. Membuat Naren bimbang. Bila ia menerima Berlian, sudah pasti karyawan lain akan sungkan pada Berlian dan tak berani menyuruhnya melakukan beberapa tugas yang memang sudah menjadi kewajiban si menyebalkan ini. Atau kalau pun ada yang berani memerintahnya, Berlian akan balas menghardik.
Namun, menolak juga bukan pilihan. Karena, Naren sungguh penasaran dengan maksud mantan simpanan Akira mendatanginya demi profesi yang sudah pasti dipandang sebelah mata oleh Berlian sebelum ini.
Pun, ya Tuhan ... Naren ingat saat ia mengerjai Berlian mencuci piring untuk melunasi pembayaran perayaan ulang tahunnya. Dua piring berhasil dia pecahkan. Salah satunya berbahan tembikar mahal yang biasa Naren pakai.
Tapi, mungkin kalau sudah kewajiban, Berlian akan bersikap hati-hati. Tidak ada salahnya mencoba.
“Gaji yang wajar, tempat tinggal dan makan.” Ia mengulang kalimat Berlian dengan nada lambat-lambat sambil memutar kursi rodanya ke kanan dan kiri, bersikap menjengkelkan. Kalau Berlian terganggu dengan tingkahnya, maka wanita itu tidak menunjukkan apa pun. Masih duduk kaku pun punggung setegak papan kayu. “Lo sadar posisi apa yang pantas lo isi?” tanyanya retoris. Berlian cukup pintar untuk tidak menjawab. “Tukang cuci,” tambah Naren, “gaji bulanan di bawah pelayan. Keculi lo bersedia bersih-bersih juga, seluruh kafe ini beserta toilet.”
Berlian berkedip. Bulu matanya agak gemetar saat melakukan itu. Dari wajahnya yang memucat juga gerakan tenggorokannya yang naik turun, Naren yakin si anak sultan mulai gentar. Tapi ternyata, nyali Berlian lumayan bisa diacungi jempol, saat bukan kalimat penolakan yang ia lontarkan, melainkan, “Apa dengan melakukan dua pekerjaan itu, gue bisa dapet tiga hal tadi?”
Naren memutar bola mata. “Gaji lo akan setara dengan pelayan. Pelayan mendapat gaji bulanan, bonus di waktu-waktu tertentu, juga tunjangan hari raya. Selama jam kerja, makan ditanggung. Tidak untuk tempat tinggal.” Ia memberi penekanan yang cukup dalam pada kalimat terakhir.
Diamatinya Berlian yang menarik napas panjang. Dia menunduk sesaat sebelum kembali mendongak dan menatap kening Naren lagi.
“Gue butuh tempat tinggal.”
“Lo kan bisa tinggal di apartemen. Hotel. Penginapan. Atau apalah yang menurut lo pantas.”
Di luar pengawasan Narendra, Berlian mengepalkan tangan-tangannya di atas pangkuan.
Hotel? Dengusnya masam. Bagaimana bisa ia tinggal di hotel saat Harry memiliki koneksi dengan nyaris seluruh bisnis itu di kota ini? Berlian saja baru diseret keluar dari salah satu hotel bintang lima beberapa jam lalu. Salah satu cabang bisnis Abimana, tempat pelariannya setelah diusir dari rumah semalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempt the Afternoon
RomantikWarning! Cerita ini hanya fiksi. Ambil bagian terbaiknya dan buang segala keburukannya, oke. Bacalah saat benar-benar luang. ¤¤¤ Narendra Narespati. Penyuka aroma hujan, semburat fajar dan motor vespa tua hadiah ayah tirinya yang sudah sering keluar...