11th Temptation
¤¤¤Narendra lebih dari sekadar menyebalkan.
Berlian menatapnya jengkel. Lelaki itu mengatakan, untuk merayakan kehancuran—kehancuran!—hubungannya dengan Akira, dia akan mentraktirnya makan serta membelikan tiket pulang.
Tapi, bagaimana bisa dikatakan mentraktir saat si sialan ini malah mengajak ia makan di restoran hotel sedang tiap orang yang menginap di sana memang memiliki jatah makan gratis? Dan lagi, tiket pulang yang Naren maksud adalah dengan waktu penerbangan tengah malam agar mendapat harga murah katanya. Pun kelas ekonomi biasa.
Ya ampun ... Berlian ingin mengamuk lagi. Sudah dibuat menunggu lama, dapat kursi standar pula. Tidakkah Naren tahu, Berlian tak pernah melakukan penerbangan dengan kelas ekonomi. dia biasanya selalu berada di kelas bisnis atau kalau memang butuh cepat dan lebih leluasa, Berlian akan menyewa jet pribadi!
Namun, apa yang bisa Berlian lakukan selain hanya menahan segala bentuk protes dengan menggigit lidah keras-keras. Setidaknya ia masih bisa pulang.
Menyandarkan diri ke jok kursi yang sempit, Berlian berusaha memejamkan mata yang tentu sulit dengan Narendra di sisinya sedang penumpang berbadan sangat subur di sisi yang lain, tidur sambil mengorok dengan liur ke mana-mana.
Ya, pada akhirnya, Narendra memutuskan ikut pulang. Katanya, Bali tak lagi menyenangkan setelah Nara pergi. Dia berkata begitu sambil menyeringai licik ke arah Berlian, seolah membenarkan semua tuduhan Berlian padanya selama ini. Bahwa menghancurkan hubungan Akira dan dirinya memang tujuan utama lelaki ini.
Pulang gratis sih, tapi apa memang harus begitu menyiksa?
“Kenapa manyun?” Si tiang bendera di sampingnya bersuara. Berlian bersedekap menahan diri untuk tidak berteriak. Nada meledek itu adalah bukti bahwa si antek-antek Nara senang melihat Berlian merasa tak nyaman. Wanita itu memberi lirikan tajam sebagai jawaban, membuat Narendra berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Dasar nggak tahu terima kasih emang lo.”
Terserah! Berlian tetap membuka mata, menatap lurus ke depan. Penerbangan ini akan terasa amat panjang. Berlian ingin tidur, tapi dengan suasana tak nyaman begini, ia tahu dirinya tidak akan bisa terlelap. Dan memejamkan mata tanpa berkelana ke alam mimpi hanya akan menyuguhkan kegelapan.
Berlian benci gelap.
Setelahnya, dua manusia itu tak lagi saling bicara. Narendra jatuh tertidur dengan begitu mudah. Sedang Berlian yang akhirnya lelah berdiam diri, memainkan ponselnya yang sudah dimode pesawat untuk mengalihkan pikiran serta berusaha meredakan detak jantungnya yang bertalu-talu. Demi apa, dia akan berhadapan dengan Harry sebentar lagi. Manusia nomor satu yang sangat dibencinya.
“Akhirnyaaaa ....”
Langit masih gelap saat mereka sampai di Bumi Jakarta. Bandara Soekarno Hatta cukup sepi kala itu. Narendra menyeret koper kecilnya dengan tangan kanan sedang tangan kiri terkubur dalam saku celana jeans gombrong yang membalut kaki panjangnya. Kamera DSLR tergantung di leher lelaki itu dan sesekali berayun pelan setiap langkah.
“Terima kasih untuk perjalanan yang nggak menyenangkan ini, Bimbing. Gue harap kita nggak pernah ketemu lagi,” kata Naren setengah mendengus sebelum melangkah lebih cepat menjauh dari Berlian yang tidak membawa apa pun dari Bali selain setelan terakhir yang ia kenakan serta tas mahal yang Naren tolak beli kemarin. Baju-baju yang Akira belikan di pulau dewata, memang sengaja Berlian tinggalkan di kamar yang sempat ditinggalinya dengan sang mantan.
“Lo nggak bisa pergi gitu aja!” Berlian yang tak punya ongkos pulang, mengejar Naren dan menarik tas ranselnya agar lelaki itu berhenti melangkah. “Lo harus tanggung jawab sama gue sampe ke rumah!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempt the Afternoon
RomansWarning! Cerita ini hanya fiksi. Ambil bagian terbaiknya dan buang segala keburukannya, oke. Bacalah saat benar-benar luang. ¤¤¤ Narendra Narespati. Penyuka aroma hujan, semburat fajar dan motor vespa tua hadiah ayah tirinya yang sudah sering keluar...