22th Temptation

10.4K 2.7K 343
                                    

22th Temptation
¤¤¤

"Aku mau nikah, Bu.”

Empat kata sederhana yang berarti banyak itu akhirnya lolos dari bibir Narendra. Sukses membuat Yanti yang kala itu sedang mengunyah makanannya langsung tersedak lantaran makanan yang hendak ia telan sebagian salah masuk ke saluran pernapasan akibat ujaran anaknya yang tanpa tadeng aling-aling.

Melihat itu, spontan Agung menepuk-nepuk pelan punggung sang istri. Sedang putranya yang tak tahu kondisi, dengan tampang tanpa dosa menyerahkan segelas air.

“Hati-hati, Ma,” gumam Agung pelan.

Yanti tak langsung menyahut. Ia menerima gelas dari si bungsu dan cepat-cepat menandaskannya sebelum memelototi lelaki muda itu. “Kamu bilang apa tadi?” tanyanya kemudian bahkan sebelum mengembalikan gelas minumnya kembali ke atas meja. Beliau menatap Naren dengan mata setengah melotot, gabungan antara kesal dan antusiasme berlebih. Yang seketika membuat Naren menelan ludah.

Ia tahu menikah bukan perkara mudah. Sama sekali bukan. Dan laki-laki, berusia 29 tahun belum cukup tua melajang. Naren sudah merencanakan hidup dengan begitu baik. Target membangun rumah tangga minimal umur 31.

Tapi bagaimana bisa ia sampai usia itu, bila saat ini saja seorang wanita terancam akan merusak sistem syaraf otaknya dengan terus-terusan bersarang di sana sambil melotot dengan mata sipit?

Memang Berlian, siapa lagi?

Namun, tidak. Naren sudah berkomitmen. Menikah bukan hanya untuk dirinya sendiri dan kesenangan. Melainkan demi masa depan dan calon anak-anaknya kelak. Naren tahu ia mulai tertarik pada putri Harry Abimana yang kacau itu. Dan ini hanya berarti satu hal. Bencana akan segera terjadi bila dirinya tidak segera mengambil tindakan.

Narendra harus segera menikah untuk mengalihkan perhatian, menstabilkan perasaan. Tapi, tentu bukan dengan wanita itu. Wanita bekas Akira, atau mungkin juga memiliki jejak laki-laki lain di tubuhnya. Banyak laki-laki lain. Dan Naren tidak bisa menerima itu.

Jodoh merupakan cerminan diri, katanya. Berlian yang sudah malang melintang di ranjang orang, tentu bukan cerminan Narendra yang masih perjaka! Bukan sok suci, hanya saja ... ia juga menginginkan wanita yang sama sepertinya. Menjaga diri untuk orang yang tepat di masa depan.

Dan kandidat yang masih tertera di daftar utama masihlah Syifa.

Katakanlah pelarian, tapi tidak juga. Naren sudah merencanakan ini sejak lama. Semenjak ia membuka usaha dengan dibantu gadis itu. Atau bahkan semenjak melihat Syifa pertama kali dan melihat karakternya yang tak tercela. Calon ibu sempurna untuk anak-anaknya.

Oh, ayolah, jangan katakan Naren munafik. Karena kenyataannya, Cinta bukan faktor utama dalam pernikahan. Rasa itu bisa saja tumbuh dengan sendirinya nanti. Perkara saat ini hati Naren condong pada orang lain, itu bukan masalah besar.

Tapi, tunggu. Condong pada orang lain?

Ugh, harus diakui, meski berat, tapi itu memang benar. Kenyataan yang menyakitkan.

Naren sadar, ia mulai luluh pada si mungil bermata sipit yang menyimpan banyak—oh, terlalu banyak rahasia.

Tindakan gilanya semalam yang memasakkan tenderloin—itu mahal, loh—untuk Berlian, tak bisa dibenarkan. Kenapa harus tenderloin, saat dirinya bisa saja menyajikan nasi dan telur? Atau tahu tempe? Paing top, ikan lah.

Namun, tenderloin?

Naren tahu dirinya bukan lagi hampir gila, melainkan sudah benar-benar gila. Bila ia datang ke RSJ dan mengatakan semua ini, dirinya yakin dokter tidak akan lagi memeriksanya, tapi langsung memasukkan ia ke ruang rawat inap khusus orang sinting!

Tempt the AfternoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang