20th Temptation
¤¤¤Narendra bukan seorang introvert. Dia suka berkumpul dengan banyak orang, mengobrol dan saling membagi cerita. Jalan-jalan, apalagi memotret. Hanya saja syarat dan ketentuan berlaku.
Berada di tengah keramaian bukan lagi hal asing baginya. Tapi, entah mengapa ia tidak pernah bisa betah berada di antara para manusia berstelan rapi. Jas dan dasi merupakan belenggu yang selalu berusaha ia hindari.
Namun, malam ini pengecualian. Ayahnya memaksa ia datang, demi kata persahabatan katanya. Padahal, siapa yang bersahabat dengan siapa? Hanya Agung dan mertua Nara. Itu pun, ayah Akira sudah lama pergi meninggalkan dunia. Agung tidak terlalu dekat dengan istri-istri sahabatnya, tapi kesetiaan beliau yang terlalu besar memang terkadang menjengkelkan. Ujung-ujungnya Naren yang jadi korban.
Lantas, harus apa ia sekarang? Berdiri bagai kambing congek di antara domba pesolek?
Oh, maafkan kata-katanya yang kasar. Mengenal Berlian dan berurusan dengan suami istri gila membuat benaknya dengan mudah bisa mengabsen nama-nema binatang. Tapi, memang ... ia tidak betah di sini. Kapan dirinya bisa menyelinap pulang?
Meletakkan nyaris membanting gelas berkaki yang sudah kosong ke atas meja tempat banyak camilan dan hidangan ringan berada, ia menatap laki-laki bersetelan jas mahal menjauh. Seseorang yang tadi coba Naren sapa, tapi hanya menatapnya sekilas lalu mengangguk sebelum pergi.
Oh, sombong sekali.
Inilah salah satu alasan Naren tidak suka datang ke acara-acara macam ini. Kebanyakan—tidak semua—menilai yang lain dari status sosial, jumlah kekayaan dan pekerjaan. Jenis hubungan yang terjalin di antara mereka kemungkinan besar ialah simbiosis mutualiasme.
Lihat saja sekelilingnya. Yang paling sering disapa adalah orang-orang yang menempati hierarki tertinggi. Apalah Naren yang hanya pemilik kafe. Oh, dia cuma remah-remah rempeyek di sini. Tak kasat mata.
Topik pembicaraan para tamu undangan tidak jauh-jauh dari bisnis dan sesuatu yang bisa dipamerkan tentunya. Sejauh ini, Naren belum mendengar ada yang membicarakan hal-hal remeh menyenangkan yang biasa ia bahas dengan para karyawannya. Seperti, goyang hp demi mendapat tambahan koin beberapa ratus perak di salah satu marketplace, keberuntungan mendapat barang flash sale, atau apa yang ingin dibeli saat 11.11 nanti.
Ya, ya. Hal-hal remeh semacam itu yang bisa membuat tertawa terbahak tanpa beban dunia. Sesuatu yang entah mengapa terasa mendamaikan sekaligus seru.
Apakah manusia-manusia dalam aula ini tahu bagaimana bahagianya saat bisa mendapat printer dengan diskon 50% pada detik pertama setelah flash sale dibuka dan harus rebutan dengan ratusan orang yang sudah mengaktifkan pengingat?
Kemungkinan besar, tidak.
Naren, jangan tanya. Dua printer di kafenya didapat dari hasil berburu diskon. Juga beberapa barang lain. Untuk apa membeli yang mahal bila yang murah bisa didapatkan dengan spesifikasi sama? Teori ekonomi ada untuk diterapkan, bukan cuma dihapal.
Pelit? Tidak. Hanya pengiritan. Masa depan membentang, dia harus mengendutkan tabungan, juga membahagiakan orang-orang sekitar.
Ah, lupakan dulu teori ekonomi dan flash sale 11.11 nanti, saat ini Naren hanya butuh udara segar. Berada di aula keluarga Arundapati cukup membuat sesak oleh aroma-aroma parfum yang membuat pusing.
Memutuskan pergi ke halaman belakang, niat Naren terhenti saat netra cokelatnya menemukan sosok Berlian yang menyendiri di dekat tangga. Wanita yang tak seglamor dulu itu mendongak ke atas, pada adik Akira yang turun perlahan didampingi seseorang yang tak Naren kenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempt the Afternoon
RomanceWarning! Cerita ini hanya fiksi. Ambil bagian terbaiknya dan buang segala keburukannya, oke. Bacalah saat benar-benar luang. ¤¤¤ Narendra Narespati. Penyuka aroma hujan, semburat fajar dan motor vespa tua hadiah ayah tirinya yang sudah sering keluar...