18th Temptation
¤¤¤“Tadi siang Ibu sempat kumat, Mbak. Teriak-teriak terus. Mulai tenang setelah disuntik. Mungkin Ibu kangen. Tidak biasanya Mbak Berlian absen sampai dua minggu,” tutur salah seorang perawat yang menangani Salma sebelum Berlian memintanya keluar dan membiarkan ia sendirian.
Salma, merindukannya? Lucu sekali. Menyadari keberadaan Berlian saja jarang sekali. Tapi, ya sudahlah. Tidak penting juga.
Terlalu banyak hal yang membuat Berlian syok akhir-akhir ini, seolah dunianya yang dipaksakan damai selama bertahun-tahun langsung menjungkirkannya dalam satu waktu. Dan Berlian merasakan kewarasannya mulai sungsang.
Oh, bahkan mungkin sebentar lagi dia juga akan menyusul Salma. Berdiam di tempat ini dan tertawa sendiri. Menertawakan kisah hidup yang luar biasa tidak menyenangkan.
Menghadap jendela di depannya, Berlian tatap wajah paruh baya lain yang terpantul di kaca dengan tatapan kosong. Jari-jemarinya yang panjang dan tampak lebih kurus dari bulan lalu, mencengkeram sisir kuning yang ia naikturunkan di rambut sang lawan bicara. Lawan bicara yang tidak pernah menanggapi sapaannya.
Salma seolah selalu memiliki dunia sendiri. Dunia yang berbeda dengan Berlian. Bahkan sejak dulu, sebelum petaka ini terjadi. Sebelum guncangan pertama menggemparkan hidup Berlian. Wanita itu berusaha tidak melirik ke samping, pada meja nakas dekat ranjang yang menyuguhkan pemandangan lain.
Selembar kertas putih berlogo rumah sakit jiwa tempat Salma dirawat terhampar di sana. Pun dengan sederet angka-angka yang membikin hati dan otaknya mendidih.
Surat pemberitahuan atau tagihan. Entahlah. Yang pasti, jumlahnya tidak sedikit. Salma menempati ruang kelas VIP yang hanya dihuni satu orang dengan fasilitas lengkap. Gaji Berlian satu bulan dari kafe Naren tidak akan cukup, terlebih separuhnya sudah ia minta di muka.
Harry sialan!
Berlian rutin datang ke rumah sakit ini hampir setiap minggu. Dia tidak pernah menunggak pembayaran. Semua kebutuhan Salma memang sudah menjadi tanggung jawabnya sejak sang kakek meninggal. Hanya bulan ini saja ia kelimpungan harus membayar tagihan rumah sakit dengan apa. Ia tidak memiliki uang sebanyak ini. Hanya ada 400 ribu dalam genggaman sekarang, itu pun sebagai pegangan. Sedang tagihan rumah sakit berkali-kali lipat lebih besar.
Kalau seperti ini, Berlian tidak punya pilihan selain memindahkan Salma ke kelas paling bawah, tapi tetap saja biayanya masih terlalu besar untuk kondisi Berlian saat ini.
Andai saja tas dan sepatu yang dilelang sudah terjual, semua akan lebih mudah. Apa ia terlalu tinggi mematok harga?
Tapi, demi Tuhan ... tas itu hampir satu miliar dan baru dipakai beberapa kali. Masih mulus. Berbeda dengan sepatunya yang nyaris ia kenakan setiap hari sejak pulang dari Bali. Yah, secepatnya ia harus membeli sepatu murahan, yang ini disimpan kalau-kalau sudah terjual, bentukannya masih bagus dan layak pakai.
Menarik napas, Berlian mengikat rambut Salma yang sudah memiliki banyak uban. Wajah wanita itu juga penuh kerutan. Beliau tampak jauh lebih tua dari usianya, berbanding terbalik dengan Harry.
“Gue harus bayar biaya rumah sakit lo pake apa?” tanyanya pada pantulan wajah Salma di kaca jendela. “Gue nggak punya apa-apa sekarang. Suami lo yang sialan udah ngambil segalanya dari gue! Segalanya.” Yang Salma jawab hanya dengan mengedip bagai manusia tidak berdosa seraya menelengkan kepala.
"Lo tahu kerjaan gue sekarang," ini pernyataan, bukan pertanyaan. Karena Salma tidak akan pernah bisa menjawab setiap tanya darinya. Dari siapa pun. "Seorang Berlian jadi tukang cuci piring. Lucu sekali kan. Lihat tangan gue sekarang," ia memyodorkan tangan kirinya yang bertekstur kasar ke depan wajah Salma, "bahkan lebih kasar dati tangan pembantu rumah Harry. Wajah gue juga. Kusam!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempt the Afternoon
Roman d'amourWarning! Cerita ini hanya fiksi. Ambil bagian terbaiknya dan buang segala keburukannya, oke. Bacalah saat benar-benar luang. ¤¤¤ Narendra Narespati. Penyuka aroma hujan, semburat fajar dan motor vespa tua hadiah ayah tirinya yang sudah sering keluar...