17th Temptation
¤¤¤Seperti yang sudah Berlian duga. Alih-alih membuat senang, Pasar malam justru membikin ia tak nyaman. Terlalu banyak pengunjung. Terlalu ramai. Terlalu kumuh. Barangkali karena pasar ini baru buka, jadilah banyak orang yang datang berbondong-bondong, bahkan Berlian sempat terdorong saat mengantre membeli tiket menaiki bianglala.
Tidak. Berlian tidak mau. Hanya saja, semua karyawan yang ikut diharuskan menaiki wahana ini oleh bos mereka yang memiliki pemikiran luar biasa aneh. Bahkan Syifa yang takut ketinggian, dipaksa oleh Naren, katanya anggap saja tantangan. Kalau Syifa berani dan berhasil turun tanpa gemetaran, Naren akan membelikan apa pun yang Syifa mau di pasar malam ini.
Ya, hanya Syifa. Kentara sekali Naren menaruh perhatian lebih pada si kepala koki yang cantik itu.
Entah karena tergiur dengan hadiahnya, atau lantaran didesak kawan-kawan, Syifa akhirnya mengangguk. Dia naik lebih dulu, berpasangan dengan ... Narendra tentu saja. Diikuti karyawan lain di keranjang selanjutnya, dan Berlian di bagian akhir—beruntung tidak kebagian pasangan.
Lalu setelah semua keranjang terisi, bianglala mulai diputar. Tak ada yang istimewa. Berlian juga tidak tahu bagian mana yang menyenangkan dari wahana ini hingga membuat sebagian yang menaikinya berteriak histeris lantaran kesenangan. Sedang Berlian hanya duduk diam, mengeratkan genggaman pada terali besi saat posisinya mulai menanjak. Ia melihat ke samping, pada para pengunjung di bawah yang terlihat mulai mengecil. Semakin tinggi, pandangannya makin meluas. Tempat-tempat di bawahnya jadi kerdil. Seluruh area pasar malam yang ramai tampak keseluruhan, pun kerlap-kerlip lampu yang terlihat seperti bintang.
Mengalihkan perhatian dari pemandangan di bawah, Berlian menatap lurus ke depan, yang langsung tertuju pada keranjang yang ditempati Syifa dan bos mereka. Dua manusia itu tertawa bersama. Barangkali Narendra berupaya membuat Syifa rileks hingga melupakan ketakutannya.
Berlian menelan ludah. Melihat petapa peduli Naren pada sang calon istri, entah mengapa ia menginginkan kepedulian yang sama. Oh bukan dari Narendra, tentu saja, melainkan orang lain.
Selama ini hanya Akira, yang jelas-jelas tak bisa diharapkan. Berlian tidak mungkin selamanya hanya menjadi pacar tanpa kepastian. Dia juga menginginkan keluarga. Anak-anak sendiri, yang membutuhkan dan akan mencintainya tanpa syarat. Pun tak akan pernah meninggalkannya.
Hubungan bisa putus. Pernikahan memiliki kata cerai. Tapi ikatan darah tak pernah bisa terelakkan.
Ah, Syifa terlalu beruntung memiliki lelaki macam Naren yang menginginkannya. Berlian menatap lelaki itu yang tengah menertawakan sesuatu dengan si kepala koki.
Lalu, seolah sadar dirinya diperhatikan, Naren menoleh. Dan ... padangan mereka bertemu di garis lurus yang sama seiring dengan tawanya yang memudar perlahan. Kemudian terpaku, seolah ada matra ajaib yang menyihir mereka tetap dalam posisi itu selama sejenak yang terasa seperti selamanya. Berlian merasakan darahnya berdesir pelan.
Ia tahu ada sesuatu ... di antara mereka. Sesuatu yang membuat ia sadar setiap kali Narendra berada di sekitarnya. Punggungnya selalu terasa panas kerap kali Naren melihatnya dari belakang. Tatapan selalu ingin lari pada lelaki itu bila berada di ruang yang sama.
Dan sesuatu seperti ini terasa begitu baru, pun mengejutkan.
Seperti sekarang. Seharusnya ia memutus kontak mata mereka. Seharusnya.
Kemudian, seolah semesta mengabulkan, mantra yang sempat menyelubungi mereka langsung lenyap begitu Syifa menepuk pundak Naren. Si kepala koki menunjukkan sesuatu di bawah sana. Ingin Naren ikut melihat objek yang sama, mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempt the Afternoon
RomanceWarning! Cerita ini hanya fiksi. Ambil bagian terbaiknya dan buang segala keburukannya, oke. Bacalah saat benar-benar luang. ¤¤¤ Narendra Narespati. Penyuka aroma hujan, semburat fajar dan motor vespa tua hadiah ayah tirinya yang sudah sering keluar...