15th Temptation
¤¤¤Narendra sungguh keterlaluan! Berlian bersungut-sungut memperhatikan jari-jari tangannya yang berkerut-kerut lantaran kelamaan berkutat dengan air dan sabun. Hanya karena memecahkan beberapa gelas dan piring, ia harus menjalani hukuman nyaris sampai tengah malam. Katanya sebagai bentuk pelatihan.
Pelatihan macam apa yang memaksa seseorang bekerja sampai larut begini? Ini namanya penyiksaan! Dan Narendra menyebalkan itu tampaknya sangat menikmati ekspresi kelelahan Berlian.
Bayangkan saja, lelaki itu terniat sekali sampai membelikan Berlian peralatan dapur berbahan melamin beberapa set, lantas menyuruh Berlian mencucinya berulang kali sampai ia bisa memegang dengan benar tanpa membuat barang-barang tersebut jatuh. Lengkap dengan instruksi-instruksi yang nyaris membuat telinga Berlian sakit mendengarnya.
Harus begini, harus begitu. Tidak boleh ini, tidak boleh itu.
Huh! Apa menjadi pencuci piring memang begitu menyedihkan? Ah, tidak. Apa menjadi karyawan orang lain sebegini susah? Harus menuruti semua perintah bos tanpa bantahan. Kalau tidak, gaji akan dipotong.
Seumur-umur, Berlian tak pernah melakukan pekerjaan domestik. Jangankan sampai mencuci piring, mengambil air putih saja pembantu yang lakukan. Berlian hanya tinggal ongkang-ongkang kaki. Berbelanja ke sana ke sini. Mempercantik diri. Menghadiri acara-acara sosial. Dan ... tentu saja bertengkar dengan Harry, pun saling tuding dengan ibu tirinya. Juga aktivitas remeh lain yang tak harus membuat ia mengeluarkan setetes keringat.
Namun, hari ini bukan hanya setetes, tapi seluruh tubuh dari ujung kaki sampai kepala terasa lembab oleh cairan asin itu. Rambut Berlian yang biasanya kering dan wangi bahkan terasa lepek dan bau keringat.
Belum selesai dengan masalah cuci piring, Berlian juga diminta menyapu dan mengepel. Berulang kali. Oleh karena ruang kafe dan dapur sedang dipakai selama jam kerja, Berlian terpaksa menggunakan toilet sebagai tempat pelatihan sialannya.
Narendra yang turun langsung sebagai pengawas sampai menggunakan sarung tangan putih berbahan kaus. Setiap kali Berlian selesai menyapu atau mengepel satu ruang toilet, Narendra langsung menyapukan tangannya yang terbungkus kain sewarna kafan itu pada lantai atau dinding kamar mandi.
Jangan tanya, jelas tidak akan pernah ada kata bersih sebersih-bersihnya. Bahkan walau hanya masih kotor sedikit saja, Berlian harus mengulang pembersihan dari awal.
Berlian lelah. Sangat. Ia bahkan hampir menangis lantaran tubuhnya terasa remuk. Tapi, tidak. Dia tidak akan memberikan Narendra kepuasan sebesar itu dengan menjatuhkan air mata di depan si lelaki sialan yang tak punya hati.
Lihat sekarang, jam setengah dua belas malam dan Berlian baru beristirahat. Tentu setelah Narendra menyatakan dirinya lulus uji coba. Menyebalkan.
Berlian menatap tangannya nelangsa. Beberapa kuku panjangnya yang dirawat dengan sangat baik selama ini patah. Yang selamat, bentuk kuteknya pun berantakan. Berlian tidak punya pilihan selain menghapus cat serta memotongnya pendek. Tak ada kata cantik bila bekerja di bagian belakang. Tapi, kenapa beberapa asisten rumah tangga yang masih muda di rumah Harry masih bisa tampil cantik bahkan terkadang dengan make up lengkap? Apa mungkin mereka sudah pro? Yang setiap kali mengepel atau mencuci piring, tak sedikit pun air akan terciprat ke wajah mereka? Bisa jadi, pikirnya muram.
“Nih, lo pasti lapar, kan?”
Sepiring nasi dengan lauk ayam dan sayur, dihidangkan di atas piring melamin yang bentuknya bahkan sudah ia hafal meski dengan mata tertutup saking seringnya ia pegang seharian. Berlian mengerjap, mengalihkan perhatian dari tangan ke arah seseorang yang menyodorkan piring.
Siapa lagi kalau bukan bos tanpa hati yang anehnya justru disukai oleh nyaris seluruh karyawan kafe ini.
Melirik jam yang menggantung di sisi dinding selatan, Berlian dorong piring tersebut menjauh lantas menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi. Kafe sudah tutup sejak setengah jam lalu, pun sebagian besar karyawan telah kembali pulang. Yang tersisa hanya Berlian, juga beberapa pekerja dapur, pun Narendra yang kini duduk di seberang meja bulat kafe lantai bawah sambil bersedekap menatapnya.
“Gue nggak makan jam segini.”
Mendengar jawabannya, Narendra melengkungkan alis, lantas mendengus kasar. “Wanita dan alasan konyolnya tentang bentuk tubuh, huh?” mendorong piring penuh itu lagi ke arah Berlian, Naren menambahkan, “Dan ingat posisi kamu. Saya bos di sini, jadi jangan coba-coba menggunakan bahasa yang tidak sopan. Karena sekarang, di hadapan saya, kamu bukan lagi Berlian putri konglomerat, melainkan Lily, salah satu karyawan yang melarat. Saking susahnya sampai bersedia tidur di samping gudang.”
Sialan. Berlian menggertakkan gigi kesal. Andai ada pilihan lain, Berlian juga tidak mau datang pada Narendra untuk meminta pekerjaan. Tapi, bagaimana lagi?
Koneksi yang ia punya hanya kolega yang semua berhubungan baik dengan Harry. Kalau Berlian nekat datang ke salah satu dari mereka, tentu saja kabar bahwa Berliana diusir akan menyebar ke mana-mana dan menimbulkan gosip.
Pun kalau sampai berita tersebut bocor ke media, Harry pasti melaksanakan ancamannya untuk membeberkan pernikahan rahasia Akira dan Nara. Dan semua orang akan tahu kalau selama ini hubungannya dan Akira tidak lebih dari status gelap.
Tidak. Berlian tak peduli pada hujatan orang yang akan menyebutnya selingkuhan, simpanan atau perebut suami orang. Karena hujatan tidak akan membuatnya kembali berjaya atau makin memiskinkannya. Cercaan masyarakat juga tidak akan semenyakitkan hinaan Harry. Tapi, lebih dari itu, Berlian sudah berjanji pada keluarga Akira untuk tidak pernah mengatakan kebenaran pernikahan tersebut pada siapa pun.
Berlian memang tidak baik, tapi ia bukan pengkhianat. peduli setan dengan Akira, ia lebih memikirkan perasaan mantan calon ibu mertuanya serta Fio yang selama ini sudah bersikap sangat baik pada Berlian.
Dan, selain Naren ... Berian tidak yakin memiliki kenalan lain yang mau direpotkan. Mungkin Jeremi mau, oh tapi dia di Bali dan Berlian kehilangan kartu namanya.
“Lo—”
Pelototan Narendra menghentikan kalimat Berlian. Wanita itu berdecak kesal, menurunkan tangannya ke atas pangkuan seraya mendesah dan menjauhkan punggung dari sandaran kursi. “Bos nggak pernah baca jurnal kesehatan, ya? Makan tengah malam itu tidak baik.”
“Seolah kamu peduli!”
“Maaf, saya memang peduli dengan kesehatan diri sendiri.” Dia mendorong kursi duduknya ke belakang, lantas bangkit. Hari ini sangat melelahkan. Berlian butuh tidur. Terlebih, besok ia harus bangun pagi-pagi sekali untuk mulai beraktivitas bila tak ingin Narendra mendobrak pintu kamar hanya untuk membangunkannya. Narendra memang setega itu. “Kalau tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, saya mohon undur diri.” Tepat saat Berlian menyelesaikan kalimatnya, bunyi naga yang cukup nyaring terdengar.
Dari perut Berlian yang memang kelaparan. Oh, sore tadi ia hanya makan sedikit, seperti porsi biasanya.
Dan kini ... Berlian menggigit bibir, menolak menatap Narendra yang memandangkan dengan kepala ditelengkan ke samping. “Makan tengah malam sangat tidak baik untuk kesehatan, kan?” sindir si bos sialan.
Argh! Kenapa Berlian tidak pernah bisa mempertahankan harga dirinya di depan lelaki ini?!
¤¤¤
Tahu, tahu. Ini dikit. Gapapa lah yang penting update😆
Saya lagi sibuk sekarang di duta. Doain aja moga ide lancar yaa ...
Esto bule dhin dhika, Cah😘
Pamekasan, 16 Okt 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempt the Afternoon
RomanceWarning! Cerita ini hanya fiksi. Ambil bagian terbaiknya dan buang segala keburukannya, oke. Bacalah saat benar-benar luang. ¤¤¤ Narendra Narespati. Penyuka aroma hujan, semburat fajar dan motor vespa tua hadiah ayah tirinya yang sudah sering keluar...