13th Temptation
¤¤¤“Gimana keadaan kafe selama aku tinggal ke Bali?” tanya Naren pada kepala koki yang sudah menjadi pertnernya sejak awal. Lelaki itu berdiri di samping si manis yang hari ini megenakan jilbab biru yang sedang meniriskan spageti pesanan salah satu pelanggan.
Sang lawan bicara menoleh sekilas dan tersenyum kecil, memamerkan lesung pipi dalam yang seringkali membuat Naren gemas setiap kali melihatnya. “Aman terkendali.” Syifa menjawab kalem. Gadis itu pun bergerak, menyiapkan piring untuk mulai plating, yang terus diikuti Naren seperti anak ayam membuntuti induk, mengabaikan suasana dapur yang mulai tegang lantaran pesanan yang terus-terusan datang.
Narendra tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi ia butuh segera melihat dan berbicara dengan gadis ini. Seminggu meninggalkan Syifa ke Bali terasa begitu lama. Sangat lama, bahkan hampir membuatnya lupa. Hampir.
“Syukurlah kalau begitu. Aku tahu, kamu memang selalu bisa diandalkan, Syif.”
Syifa tak langsung menyahut. Tangan-tangannya yang cekatan mulai menghias piring. Sesekali ia menoleh pada koki lain dan memberikan perintah, atau sekadar menegur tanpa melupakan pesanan yang sedang ditanganinya. Pemandangan tersebut sudah tentu membuat Naren kagum. Syifa nyaris tepat dalam segala hal. Garis keturunannya jelas. Akhlaknya bagus. Wajahnya tidak membosankan dipandang. Meski dia terlahir dalam keluarga sederhana, di mata Naren Syifa tetap tanpa cela. Ia sudah mengenal Syifa sejak remaja, pun tak pernah menemukan kesalahan yang membuat wanita ini cacat di matanya.
Dan ... seperti inilah calon ibu yang Naren harapkan untuk anak-anaknya kelak. Mandiri, kuat, tahan banting. Yang pasti, Syifa bisa diajak hidup dalam hampir semua keadaan.
“Kan memang sudah tugas saya, Bos.” Selesai menata piring dengan hiasan cantik yang mendadak membuat perut Narendra keroncongan, Syifa langsung menyerahkan piring tersebut pada salah seorang pelayan lantas menerima pesanan selanjutnya. Tidak benar-benar memperhatikan Narendra yang jelas menaruh perhatian besar pada si koki. Bahkan mengabaikan sang bos yang memutar bola mata jengah.
Inilah salah satu dari banyak hal yang menarik dari Syifa. Dia bukan jenis perempuan yang mudah didekati dan didapatkan. Menarik perhatiannya pun cukup sulit.
“Apa kita akan kembali ke fase formal lagi?”
Yang ditanya mengangkat pandangan dari kertas kecil di tangannya, lantas meringis. “Sori, Bos—eh, Ren, suka lupa.”
“Lagian Bos ngapain sih di sini? Ini lagi jam sibuk, Bos. Rayu Mbak Syifanya nanti aja lagi! Pesanan kita lagi banyak,” cetus Rahman, salah satu asisten koki yang menatap Naren jengkel dari seberang meja dapur.
Oh, lancang sekali dia!
Ya, ampun ... karyawan siapa itu? Dan siapa bosnya di sini? Kenapa malah Naren, pemilik kafe yang diusir? Tidak takutkah Rahman dipecat?
Naren sudah hendak membuka mulut, bermaksud mengatakan bahwa ia mengajak bicara Syifa juga karena sesuatu yang genting. Tapi sebelum katup bibirnya mambuka, si gadis berhijab biru lebih dulu bicara. “Iya, Ren, ngobrolnya nanti lagi aja, ya. Kerjaan aku lagi banyak.”
Narendra mendesah setengah tidak rela. Namun, kalau sudah Syifa yang meminta pergi, ia bisa apa? Meski Naren sungguh masih ingin di sini, menghapal detail-detail diri calon istrinya yang mulai terkikis dari ingatan seminggu terakhir.
“Baiklah!” Akhirnya ia mengalah, mendelik pada Rahman yang memang tampak sibuk memotong sayur dengan gerakan yang luar biasa lincah. “Tapi tolong terima ini, ya,” tambahnya sambil menyodorkan kantong kertas berukuran sedang yang sejak tadi ditengtengnya pada sang kepala koki yang ragu-ragu menerima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempt the Afternoon
RomanceWarning! Cerita ini hanya fiksi. Ambil bagian terbaiknya dan buang segala keburukannya, oke. Bacalah saat benar-benar luang. ¤¤¤ Narendra Narespati. Penyuka aroma hujan, semburat fajar dan motor vespa tua hadiah ayah tirinya yang sudah sering keluar...