8th Temptation

12.1K 2.8K 382
                                    

8th Temptation
¤¤¤

Apa kata wanita itu? Mau ikut Naren kembali ke hotel? Bah, seolah ia sudi saja membonceng seorang Berlian yang bahkan menatap sepeda ontel sewaannya dengan tatapan jijik. Siapa pula dia? Seenaknya meminta bantuan tanpa kata tolong. Dan Naren yakin, kalau pun tadi ia menyanggupi, Berlian pasti akan duduk bak ratu di besi belakang dengan punggung setegak papan kayu dan posisi tangan terlipat anggun di pangkuan. Lalu setelah sampai, ia akan turun kemudian pergi begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih, seolah Narendra semacam jin tak terlihat yang mampu mengabulkan tiga permintaannya. Tapi, seorang Berlian tidak akan cukup dengan hanya tiga permintaan. Pun jelas, ia bukan meminta melainkan memaksa atau menekan. Tapi, maaf maaf saja, Naren bukan tipe pria yang bisa buta oleh pesona Hawa. Logika berada di urutan yang lebih tinggi dari nafsu belaka.

Menggeleng untuk melupakan si pelakor tidak tahu diri dan entah apa yang sedang dilakukannya sekarang—ngesot, merangkak, berlari, berjalan, atau menaikkan rok sepaha atas untuk menghentikan kendaraan sebagai tumpangan demi bisa sampai di hotel tanpa tetes keringat yang akan mengurangi pesonanya—Naren melangkah memasuki lobi hotel. Kamera DSLR yang memang dibawanya dari Jakarta masih tergantung manis di leher dengan puluhan atau bahkan ratusan gambar yang berhasil dijepretnya sejak tiba di Bali.

Beberapa meter dari lift, Naren dapati sosok sepasang manusia yang berdiri bersisian menunggu pintu aluminium yang akan membawa mereka ke lantai atas. Narendra menyipit. Pasangan yang sama sekali tak serasi itu tidak lain adalah Akira beserta istri yang tak dianggap. Nara.

Tunggu, kalau Akira di sini ... lalu Berlian?

Naren sempat mengira Berlian dan Akira bertengkar, lalu si pelakor memilih pulang sendiri karena marah dan meninggalkan Akira kelimpungan di pantai. Namun, sepertinya dugaan Naren salah.

Jelas salah, si tukang selingkuh tidak seharusnya di sini, kan? Kecuali, lagi-lagi kalau ia melupakan kekasihnya.

Uh, oh. Ini luar biasa. Si pelakor yang malang. Ditinggal pacar dan berjalan pulang sendirian. Ah, Naren jadi sedikit merasa bersalah meninggalkannya. Tapi tak apa, sesekali dia memang butuh diberi pelajaran hanya agak sedikit lebih tahu diri saja.

Memasukkan dua tangan ke dalam saku celana, Narendra mendekati posisi mereka dan berhenti di belakangnya sambil bersiul-siul. Kalau Akira selalu begini, misi Naren akan dengan mudah terselesaikan.

Barangakali mendengar siulannya, Nara menoleh. Awalanya sekali, tapi begitu mengenali sosok Naren, gadis itu menoleh lagi lantas memutar badan menghadap putra si putra tiri Agung. Matanya yang besar dan agak kemerahan berkedip-kedip. “Ren,” rengeknya dengan suara yang gemetar, membuat Narendra praktis berhenti bersiul. Lebih-lebih, Naren baru menyadari wajah Nara pucat pasi, juga rambutnya yang berantakan.

Melihat kondisi mengenaskan gadis itu, tatapan tajam Naren  langsung tertuju pada Akira yang ikut berbalik dan menatapnya jengah. “Lo apain Nara?”

Satu alis Akira terangkat. “Seolah gue sudi ngapa-ngapain dia,” katanya seketus biasa.

Mendengar jawaban Akira, bibir pucat Nara mengerucut kesal. Ah, setidaknya bila sudah bisa berekspresi seperti cocor bebek, kondisinya tidak separah itu. “Gue dirampok Ren,” adunya dengan mata berkaca-kaca. Dua tangannya saling bertaut di depan perut dengan bibir mencebik menahan tangis. “Hape, uang tunai sama seluruh isi tabungan gue abis. Gue nggak punya duit lagi sekarang. Gue harus gimana?” Nara maju setengah langkah, menarik ujung baju depan Narendra seperti bocah yang sedang mengadu pada ayahnya. “Niat liburan ke Bali buat seneng-seneng, harta gue malah abis, Ren.”

Oh, coba lihat ekspresi Akira sekarang. Tubuh lelaki itu menegang. Tatapannya tajem tertuju pada tangan Nara yang memelintir ujung baju depan Naren hingga kusut.

Tempt the AfternoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang