Naren berdiri di samping jendela kamarnya yang terbuka siang itu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tatapannya turun ke bawah, pada halaman rumah yang cukup luas dan asri. Beberapa tanaman hijau menghiasi setiap sudut, jejak-jejak sentuhan ibunya yang kini entah di mana. Ibu tidak kelihatan sejak pagi, barangkali menyambangi kediaman Syafiq Muiz, kakak Naren, seperti biasa. Beliau sedang dalam upaya menjodohkan sulungnya itu sekarang.
Tidak, Naren bukan sedang memerhatikan tanaman-tanaman itu, melainkan mobil hitam mengilat yang baru memasuki pekarangan rumahnya. Ferrari. Naren mengangkat sebelah alis. Tamu kehormatan mereka sudah tiba. Akira, putra sahabat baik Papa.
Ah, Naren mengusap tengkuk sambil mendesah setengah frustrasi. Dia tidak terlalu mengenal Akira meski sejak kecil mereka sudah saling mengetahui satu sama lain. Akira terlalu ... angkuh. Jenis seseorang yang Naren blok hitam dari daftar temannya.
Tapi, tapi, tapi, dia punya proyek yang melibatkan lelaki itu. Proyek pribadi. Atau bolehkah Naren menyebutnya proyek rahasia antara ia dan Papa?
Menurunkan satu tangan dari lipatan, Naren sentuh terali besi jendela seraya lebih melongokkan kepala ke bawah. Si beruntung yang terlahir dengan sendok emas di tangannya itu—sebutan Naren untuk Akira—keluar dari mobil dengan gestur setengah enggan, lantas menutup pintu mobil dengan kasar. Dia tidak langsung melangkah, melainkan masih meneliti sekelilingnya dengan seksama. Barangkali berusaha memastikan bahwa dirinya tidak salah rumah, tebak Naren sok tahu.
Lalu pada detik itu pula mobil kedua memasuki pekarangan, berhasil menarik perhatian Akira yang untuk beberapa saat memakukan pandangan. Bukan Ferrari. Bukan Audi, apalagi Lamborgini, melainkan ... Naren menyipitkan mata berusaha mengenali. Eh, benarkah itu sejenis mobil sejuta umat yang biasa ditemuinya di jalan raya?
Seingat Naren, tamu ayahnya siang ini hanya dua orang. Akira dan bininya, Nara. Nara tidak mungkin datang ke sini dengan kendaraan mura—
Pintu penumpang bagian belakang mobil sejuta umat itu terbuka. Dan Naren ternganga saat wanita ramping berambut ikal sepunggung keluar dengan gaya dramatis. Kaca mata hitam besar bertengger di atas tulang hidungnya yang mancung. Rambutnya yang dikeriting gantung berayun-ayun. Gaun merah—Nara, nama perempuan itu, suka warna merah kalau tidak salah—jatuh dengan lembut di sekitar lututnya.
Oh, Naren mengembuskan napas yang tanpa disadari telah ia tahan selama seper sekian detik. Istri sultan datang dengan mobil sejuta umat, yang kembali melesat pergi setelah penumpang cantiknya turun.
Taksi, rupanya.
Baiklah. Narendra maju setengah langkah hingga ujung kakinya menabrak dinding, hanya untuk menyaksikan drama yang lebih seru dari serial Suara Hati Bini kesukaan Inem—pembantu di rumah ini—yang mungkin akan berlangsung.
Dan benar saja, begitu Nara mendapati sosok suaminya, gadis itu (Nara masih gadis, kan? Naren yakin dia belum mau Akira sentuh, atau justru Akira yang enggan mengambil haknya, mengingat sejarah pernikahan mereka yang membutuhkan pihak ketiga untuk mendekatkan keduanya. Dan dalam kasus ini, pihak ketiga yang cukup sial adalah Naredra sendiri) langsung menaikkan kacamata hitamnya ke atas kepala, lantas bersedekap dengan satu alis terangkat.
Ini pasti akan jadi tontonan yang sangat seru, pikir Narendra, tepat satu detik sebelum suara ramah ayahnya terdengar.
“Akira, Nara, kalian sudah datang? Kenapa berdiri saja di luar? Mari, masuk.”
Naren berdecak kecewa. Ini seperti ia sedang menonton bola, lalu saat salah satu pemain favoritnya menendang ke arah gawang untuk mencetak gol, listrik seketika padam. Padahal kan, Naren ingin tahu sapaan pertama sepasang suami istri yang jarang bertemu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempt the Afternoon
RomantizmWarning! Cerita ini hanya fiksi. Ambil bagian terbaiknya dan buang segala keburukannya, oke. Bacalah saat benar-benar luang. ¤¤¤ Narendra Narespati. Penyuka aroma hujan, semburat fajar dan motor vespa tua hadiah ayah tirinya yang sudah sering keluar...