Seorang pria tua menyeka keringatnya menggunakan handuk yang menggantung di batang lehernya, tapi walaupun peluh terus membasahi tubuhnya, hal tersebut tidak membuat senyuman diwajahnya luntur begitu saja.
Akhir pekan adalah saat-saat paling menyenangkan bagi semua orang, hal yang sama juga berlaku pada para pemilik usaha yang terletak di daerah pinggiran kota sepertinya. Daerah yang biasanya cukup lenggang itu kini terisi penuh oleh berbagai macam orang; entah itu keluarga yang hendak menikmati waktu akhir pekan mereka dengan mengajak sang buah hati menuju ke tempat rekreasi alami ataupun seseorang yang memilih untuk mencari pelarian sementara dari penatnya hidup perkotaan. Yang pasti, disaat-saat seperti ini, pemilik usaha lokal sepertinya saat diuntungkan.
Yah, dia bahkan berhasil menjual persediaan untuk satu minggu kedepan hanya dalam satu hari.
Pria tua itu baru saja selesai meletakkan kotak bekas persediaan terakhirnya di sudut toko saat seorang bibi yang dia kenali sebagai pemilik salon di sudut komplek pertokoan datang menghampiri. Wajah berkerut wanita paruh baya yang biasanya selalu tertekuk itu kali ini terlihat berbeda, mungkin karena senyum yang nyaris tak pernah kelihatan keberadaannya itu akhirnya muncul.
Dengan wajah sumringah, bibi Jung memberitahukan kalau ada seorang anak muda dengan wajah tampan dari kota yang sedang mencarinya. Pria tua itu sendiri hanya mengerutkan keningnya tak mengerti. Dia tidak punya kenalan pria muda, apalagi yang berasal dari kota. Satu-satunya pria muda yang kenal adalah putranya, dan putranya sudah meninggal dunia sejak bertahun-tahun yang lalu.
Suara lonceng toko yang kemudian diikuti dengan suara langkah kaki mengalihkan perhatiannya. Pria tua itu tanpa sadar meneliti dari pucuk kepala sampai ke ujung kaki dari sosok yang baru saja masuk ke ruangan.
Kemeja putih bersih tanpa dekorasi, celana denim hitam, mantel hitam panjang, dan sepasang sepatu bot rendah dengan warna serupa tampak membalut tubuhnya dengan sempurna.
Dia tidak tahu banyak soal merek terkenal, tapi bahkan dalam sekali lihat saja dia tahu kalau semua yang melekat di tubuh anak muda di hadapannya itu bernilai tinggi; bahkan mungkin jauh lebih tinggi daripada pendapatannya dalam beberapa bulan.
"...Siapa?"
Pria muda itu tersenyum tipis sebelum dia menjulurkan tangannya kearah depan agar keduanya bisa berjabat tangan.
"Lee Minwoo, kan?" Suaranya terdengar ringan. "...Atau haruskah aku memanggilmu dengan sebutan petugas Lee?"
•••
Lee Minwoo duduk di atas kursi rumahnya dengan tak nyaman. Dia menundukkan kepalanya sembari sesekali mencuri pandang kearah depan. Berbanding terbalik dengan tampilannya yang terlihat ramah dan mudah didekati, Minwoo dapat merasakan aura aneh menguar dari sosok yang jauh lebih muda darinya itu. Sesuatu darinya membuat Minwoo merasa kecil dan tak berdaya.
"Kita saling kenal?" Tanya yang lebih tua dengan hati-hati. Sudah lama sekali sejak dia mengundurkan diri dari posisinya di kepolisian, dan kalau seseorang mencarinya sampai sejauh ini, bukankah itu artinya mereka punya alasan yang sangat kuat untuk bertemu?
"Menurutmu?"
Satu kata dia ucapkan sebagai jawaban, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuat perasaan gelisah dihati Minwoo menjadi semakin menjadi-jadi tak terkendali.
Anak muda itu terlihat membencinya dan Minwoo tidak tahu apa alasannya. Selama dia menjabat sebagai anggota kepolisian dulu, Minwoo merasa kalau dia tidak pernah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Kecuali-
"Tujuh belas tahun yang lalu.." Yang lebih muda menjeda kalimatnya lalu tersenyum sinis. "Anda mengerti apa yang sedang saya bicarakan, kan?"
Lee Minwoo berubah pucat. Tangannya yang dia letakkan diatas pangkuannya sontak gemetar saat dia kembali mengingat kejadian mengenaskan pada tujuh belas tahun lalu. Kejadian yang sama dengan alasannya memutuskan untuk berhenti dari kepolisian karena terus dihantui oleh rasa bersalah pada seorang anak laki-laki yang bahkan tak bisa dia ingat lagi wajahnya saking begitu panjangnya waktu berlalu sejak saat itu.
"...K-kau?"
•••
Disaat yang bersamaan, ketika bibi Jung baru saja mengantar pelanggannya keluar dari salon, wanita paruh baya itu tiba-tiba menghentikan langkahnya saat indera pengelihatannya menemukan sosok pemuda tinggi yang tengah berdiri sambil melihat sekeliling seperti sedang kebingungan.
Di kota kecil tempatnya tinggal ini memang sering dikunjungi oleh turis, apalagi ketika akhir pekan seperti sekarang. Tapi seseorang dengan tampang 'wah' seperti yang tengah dia lihat saat ini bisa dihitung jari. Parasnya yang sempurna terlihat kontras dengan lingkungan mereka yang cenderung kumuh, sukses membuatnya terlihat semakin mencolok.
Dan seperti mengerti dengan isi pikirannya, pemuda itu tiba-tiba menoleh kearah kanan yang kemudian membuat pandangan mata keduanya bertemu. Bibi Jung bahkan tanpa sadar menahan nafasnya. Demi Tuhan, dia bahkan jauh lebih tampan daripada yang dipikirkan!
"Apa anda tahu dimana tempat tinggal Lee Minwoo?"
Holy Moly, kenapa hari ini Pak tua itu terus didatangi anak-anak berwajah tampan bak idola seperti ini? Apakah mereka semua keluarga? Atau apakah Pak Lee diam-diam membuat agensi dan anak-anak ini adlah calon peserta latihannya? Atau... Apakah Pak Lee membuka bisnis gigolo illegal?!
"Saya Oh Sehun." Anak muda itu akhirnya mengenalkan diri. Mungkin sekalian untuk membuat bibi Jung tersadar dari lamunannya. Dia kemudian bergeser sedikit kearah kanan, membuat sosok pemuda lain yang sebelumnya bahkan tidak disadari keberadaannya akhirnya terlihat. "Dan ini Kim Jungwoon. Apa kami bisa bertemu dengan Pak Lee?"
Wajah bibi Jung berubah pucat.
"K-kamu... Bukannya yang datang tadi?!"
Jungwoon dan Sehun saling bertukar pandang. Raut horror terlihat dengan jelas di wajah keduanya.
Kim Jungwoo sudah datang mendahului mereka!
•••
'Katakan pada Kim Jungwoo kalau kakaknya sudah membuangnya dan tak akan pernah kembali.'
Lee Minwoo mengepalkan kedua telapak tangannya kuat. Matanya terpejam.
Pada akhirnya, perintah itu dia lakukan juga.
Jang Woohyuk mengatakan padanya untuk tidak perlu merasa bersalah atas apa yang sudah mereka lakukan. Karena walaupun kedua kakak beradik itu hidup terpisah, sang kakak akan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik dari sebelumnya sebagai anak dari jenderal kepolisian, sang adik akan hidup tanpa perlu kekurangan karena semua harta waris jatuh ke tangannya, dan Minwoo serta Woohyuk akan mendapatkan kenaikan pangkat seperti yang sudah dijanjikan.
Katanya semuanya akan baik-baik saja.
Tapi apakah benar begitu?
Kenaikan jabatan yang dijanjikan bahkan tak lagi terasa menyenangkan baginya. Perasaan bersalah itu sudah terlanjur memenuhi semua ruang hatinya dan membuatnya menolak untuk merasa bahagia setelah apa yang sudah dia lakukan pada orang lain.
Tiga bulan setelahnya, Minwoo mendapatkan kembali karmanya.
Lee Dohyun, putera tunggalnya yang dia sayangi lebih dari apapun di dunia ini, menghembuskan nafas terakhirnya saat bus yang dia tumpangi bersama dengan ratusan anak lainnya dalam rangka study banding terjun bebas ke dalam jurang setelah sebelumnya bertabrakan dengan truk pengangkut besi.
Mereka bilang kecelakan itu adalah takdir yang tidak bisa seorangpun hindari. Tapi bagi Minwoo, itu adalah bagian dari karma yang harus dia terima.
Anaknya, putera kesayangannya, buah hatinya, harus menanggung semua itu karena kesalahannya.
Sambil meratapi bingkai potret sang putera untuk yang terakhir kalinya, lelaki itu menarik nafas dalam. Tangannya senantiasa menggenggam telapak tangan sang istri dengan erat. "Ayo pergi dari kota ini." Katanya pada akhirnya.
Keputusannya sudah bulat. Dia akan meninggalkan semuanya di kota ini. Baik kenangan akan puteranya maupun rasa bersalah yang semakin lama semakin menggerogoti habis hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Choix
Fanfic[Heartbreaker sequel based on Kun's AE] Remember, You always have a choice. Start: 03/04/19 Ended: ©️Jeffhyun97 -2019-