07 - If We Meet Again

65 20 7
                                    

"Terus lo mau pake baju pesing begini? Atau mau telanjang aja?"

Sejak dua menit yang lalu, Junda dibuat pusing karena Kinan yang tidak mau mengganti bajunya. Alasannya sepele, Kinan mati-matian menolak baju Junda hanya karena baju Junda tidak sesuai dengan style-nya. Padahal jika dipikir-pikir, lebih mending memakai baju yang tidak sesuai style daripada harus memakai baju yang bau pesing.

"Tapi saya nggak suka."

"Ya udah terserah." Baik Junda menyerah.

Mereka berdua sekarang berada di rumah Junda. Awalnya Junda berniat membawa Kinan ke rumah agar Kinan bisa ganti baju, tapi siapa sangka Kinan justru tidak mau ganti baju.

"Yakin gak mau ganti?" tanya Junda sekali lagi. Dia bisa melihat kalau Kinan tidak nyaman. Gadis itu dari tadi hanya berdiri di samping sofa tanpa bergerak.

Kinan bimbang. Jika dia ganti, Junda pasti tidak punya pakaian yang feminim. Tapi jika dia tidak ganti, bajunya sudah bau pesing dari tadi.

"Oke, saya ganti," final Kinan pada akhirnya.

Junda langsung menggiring Kinan menuju kamarnya. Sesampainya di kamar, tanpa basa-basi Junda membuka lemari pakaiannya yang tujuh puluh persen berisi hoodie dan kaos.

"Terserah lo mau pake yang mana," ucap Junda sebelum menutup pintu.

Setelah melihat isi lemari Junda, Kinan tahu mengapa hampir setiap hari Junda selalu memakai hoodie. Kinan hanya bisa geleng-geleng menyaksikan puluhan hoodie dengan berbagai warna terlipat rapi di dalam sana.

"Ini lemari apa pabrik hoodie?"

Sebenarnya Junda dan Kinan sama saja. Kalau satu lemari Junda penuh dengan hoodie, maka satu lemari Kinan penuh dengan dress warna hitam. Pada dasarnya mereka sama, jika sudah nyaman dengan satu barang, maka seterusnya akan selalu memakai barang itu.

Setelah hampir dua menit berdiri di depan lemari Junda yang penuh hoodie, pilihan Kinan jatuh pada hoodie hitam bertali hijau yang berada di tumpukan paling atas.

Setelah selesai mengganti bajunya yang bau pesing, Kinan berniat untuk segera keluar. Namun, sebelum dia mencapai pintu, matanya menangkap sesuatu yang menarik di pojok kamar Junda.

Sebuah piano warna hitam.

Alhasil, setelah melihat keberadaan piano itu, bukannya melangkah keluar, Kinan justru melangkah menuju piano dan mendudukkan dirinya di kursi piano. Kebetulan sekali, partitur If We Meet Again masih terpasang di sana. Sejenak Kinan mengamati not-not beserta lirik yang tertulis di partitur itu. Dia membaca kata demi kata yang terangkai menjadi sebuah lirik penuh kerinduan.

Entah bagaimana, penulisnya seperti mengekspresikan kalau dia sedang terkurung dalam ruangan hitam sendirian. Benar-benar sendiri, tanpa teman seorang pun. Dan di dalam ruangan itu, sang penulis seolah terjebak dalam kerinduan yang hebat. Dia rindu seseorang.

Setelah hanyut dalam rangkaian lirik yang cukup mampu membuat dada Kinan sesak tiba-tiba. Dia mulai menarikan tangannya di atas tuts-tuts piano dengan lincah. Sama seperti liriknya yang sangat melankolis, melodinya pun begitu. Perlahan tapi pasti Kinan semakin hanyut ke dalamnya, entah hanyut karena permainannya sendiri atau hanyut karena lirik dan melodi If We Meet Again yang luar biasa menyakitkan.

Kini seluruh penjuru kamar Junda kembali dipenuhi oleh alunan piano dari melodi If We Meet Again. Bedanya, jika kemarin Junda yang memainkan itu, maka kali ini Kinanlah yang memainkannya. Tidak jauh berbeda, permainan piano Kinan dan Junda sama-sama menyiratkan kerinduan. Namun, berbeda dengan Junda yang jelas kemana rindu itu ditujukan, Kinan justru tidak tahu dia rindu pada siapa.

Senja & Pesawat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang