[Prelude] Junda dan Senja

386 29 8
                                    

Suatu hari ketika langit telah berubah jingga, Junda berdiri di atap sebuah gedung tinggi demi menyaksikan mentari yang akan kembali ke peraduan. Orang-orang biasa menyebut saat-saat seperti ini dengan sebutan senja. Hampir setiap hari di saat senja, Junda akan berdiri di sini menghadap ke sebelah barat. Berdiri diam tanpa teman untuk menyaksikan mentari yang perlahan tenggelam dan burung-burung yang terbang pulang ke rumahnya.

Junda berdiri di sini semata-mata bukan hanya untuk menyaksikan senja. Dia di sini untuk mengadukan hari-harinya yang selalu berat. Di kala senja seperti ini, Junda selalu berharap waktu bisa berhenti sejenak, karena hanya di kala senja Junda bisa merasakan apa itu kebebasan.

Pelan tapi pasti mentari perlahan pergi bersama terang yang dimilikinya hingga hanya menyisakan gelap yang semakin lama semakin menyesakkan dada Junda.

Begitu langit menanggalkan terang untuk digantikan gelap, Junda selalu disergap kekhawatiran yang luar biasa.

Apakah besok akan baik-baik saja?

Hanya pertanyaan itu yang selalu mengganjal di dada Junda hingga membuat dirinya disergap khawatir karena pertanyaan itu selalu tidak terjawab.

Orang-orang selalu melihat Junda sebagai sosok yang sempurna. Orang-orang juga melihat hidup Junda sebagai hidup yang paling bahagia. Jika orang-orang menganggapnya seperti itu, berarti Junda berhasil. Junda berhasil bersandiwara atas segalanya. 

Junda bukan milik Junda. Junda hanyalah sebuah lukisan yang dibuat Papa dan Mama. Hidup Junda milik Papa dan Mama, Junda sama sekali tidak memiliki kendali apapun atas hidupnya.

Tidak jarang Junda berpikir, bagaimana jika Papa dan Mama tiada. Lalu setelah berpikir demikian Junda akan merasa jadi anak paling durhaka sedunia, karena ketika dia berpikir demikian bukan kesedihan yang datang menyapa, tapi justru kebebasan yang membahagiakan.

Sedurhaka itu kah Junda? Atau justru Papa dan Mama yang durhaka pada Junda?

Peribahasa burung dalam sangkar emas sepertinya memang diciptakan untuk Junda. Junda punya segalanya, fasilitas, kemewahan, makanan lezat, baju mahal, Junda punya itu semua. Hanya satu yang Junda tidak punya, yaitu kebebasan.

Di saat-saat seperti ini, ketika dia berdiri diam dalam kesendirian, Junda selalu ingin bertanya pada Tuhan. Sebenarnya tujuan Tuhan menciptakannya untuk apa? Apakah hanya untuk jadi boneka Papa dan Mama?

Junda sangat ingin semua ini segera selesai. Dia lelah diganggu khawatir yang selalu datang tanpa permisi, dia lelah untuk berpura-pura bahagia, dia lelah berada dalam sangkar yang diciptakan Papa dan Mama.

Jika bisa, dari dulu Junda pasti sudah keluar dari sangkar yang diciptakan Papa dan Mama, tapi sayangnya Junda tidak bisa. Junda bertahan di keadaan ini bukan karena dia lemah, tapi karena dia ingin melindungi dirinya sendiri dari rasa sakit yang lebih buruk lagi.

Junda kenal betul dengan Papa dan Mama. Apapun akan mereka lakukan demi keinginan mereka bisa terpenuhi, tak terkecuali mengorbankan Junda yang notabenenya sebagai anak Papa dan Mama.

Setiap hari yang bisa Junda lakukan untuk tetap bertahan hanyalah berdiri di sini, di atap gedung tinggi ini. Walaupun hanya ditemani angin sore yang selalu menyibakkan rambutnya kesana kemari, Junda betah di sini. Di sini Junda bisa bebas, di sini Junda bisa mengadu sepuasnya, di sini Junda bisa melihat kalau dia masih punya harapan.

Senja & Pesawat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang