"AWWW SAKIT, BEGE!"
Di bangku taman yang tadi Kinan duduki untuk menikmati martabak, Junda memasrahkan diri ketika lukanya dibersihkan oleh Kinan. Syukur kalau Kinan melakukannya dengan penuh kelembutan. Masalahnya Kinan melakukannya dengan sangat bar-bar. Bukannya sembuh, lukanya justru makin nyut-nyutan akibat Kinan yang menggosokkan kapas terlalu keras.
"Tahan bentaran," ucap Kinan sekenanya. Dia masih fokus membersihkan luka-luka Junda.
Junda menghela napas dalam, kemudian merebut kapas dan alkohol dari tangan Kinan. Dia sudah kehabisan kesabaran melihat lukanya yang digosok-gosok tidak karuan.
"Gini caranya!" Junda memperlihatkan tata cara membersihkan luka yang baik dan benar kepada Kinan.
Kinan yang sudah teramat yakin caranya sudah benar hanya mengangguk-angguk tanpa minat.
"Sudah tahu." Begitu katanya.
Junda cengo. Jika saja bisa, dia ingin sekali meremas wajah Kinan yang kini terlihat sangat menyebalkan, tapi sayangnya tidak bisa. Jadi Junda hanya bisa meremas udara di depan wajah Kinan.
"Saya kira kamu mati tadi."
Junda langsung menoleh seraya mendelik dramatis. Bagaimana bisa Kinan mengucapkan hal itu dengan sangat santai? Junda tidak paham dengan gadis itu.
"Lo nolongnya lama, Kinan!" Junda memekik. Dia ingat betul ketika dia terkapar sambil menunggu Kinan datang untuk menyelamatkannya, tapi ternyata hasilnya nihil. Bukannya berlari untuk membantu, Kinan justru cengo di pinggir jalan. Alhasil, Junda bangun sendiri tanpa bantuan siapapun.
Bukannya merasa bersalah, Kinan justru nyengir sambil menggaruk tengkuknya. "Ya maaf."
Junda menoleh menatap Kinan tanpa minat, kemudian tersenyum walaupun dalam hatinya ingin sekali meremas wajah gadis itu.
Kinan yang jelas-jelas melihat Junda tersenyum langsung merasa dirinya telah dimaafkan. Jadi dengan polosnya, dia turut tersenyum lebar dan berkata, "Terima kasih."
Gadis yang kini duduk di samping Junda itu memang ajaib.
Namun, ada satu hal yang cukup mengganjal bagi Junda. Setelah cukup lama duduk bersama Kinan malam ini, Junda merasa ada yang berbeda dengan gadis itu. Dan demi memperjelas perasaannya, Junda mengamati Kinan dari atas sampai bawah sambil sesekali mencondongkan tubuhnya ke belakang supaya dapat melihat Kinan dengan jelas. Tak lupa juga tangannya yang menggosok-gosok dagu seperti orang sedang berpikir keras.
"Kenapa?" tanya Kinan kebingungan.
Sayangnya, Junda tidak menjawab.
Tentu saja Kinan makin bingung. Apa otak Junda bergeser setelah berguling-guling di aspal tadi?
"Kamu ken—"
"AHAA!"
"ASTAGA!" Kinan terlonjak kaget. Pasalnya Junda berteriak sangat nyaring sampai gendang telinganya terasa akan jebol.
Junda menjentikkan jari di depan wajah Kinan, kemudian mengangguk mantap.
"KENAPA?!" Kinan kehabisan kesabaran.
Junda diam sejenak, tapi masih tetap mengangguk-angguk.
"Tumben baju lo berwarna," ucap Junda kemudian.
Kinan reflek menunduk. Dan benar, gaunnya tidak berwarna hitam.
"Tapi hitam juga warna." Kinan mengoreksi.
Mata Junda melebar, kepalanya miring sedikit, lalu dia mengangguk lagi. "Ah iya! Maksudnya, tumben baju lo nggak warna hitam."
Yang ini baru benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja & Pesawat
Fiksi PenggemarJunda hanyalah seekor burung dalam sangkar emas yang diciptakan Papa dan Mama. Jika bisa, dari dulu Junda pasti sudah keluar dari sangkar yang diciptakan Papa dan Mama. Tapi sayangnya Junda tidak bisa. Junda bertahan di keadaan ini bukan karena dia...