22 - Pada Akhirnya Pergi

91 16 8
                                    

Hari ini tepat dua minggu pasca Junda mengalami kecelakaan di malam berhujan tempo hari, itu artinya seharusnya hari ini adalah hari ke-empat belas Junda tidak sadarkan diri. Namun, pagi tadi karena keajaiban Tuhan, Junda membuka mata untuk pertama kalinya setelah tiga belas hari tertidur nyenyak.

Mama sontak menangis ketika melihat Junda akhirnya membuka mata. Sedangkan Papa, hanya berdiri di samping brankar Junda padahal matanya juga turut panas ingin mengeluarkan air mata. Gengsi Papa terlalu besar walau untuk sekedar memeluk atau menangis di depan Junda. Padahal sebenarnya semua itu wajar-wajar saja.

Begitu sadar, Junda baru merasakan kalau badannya sakit luar biasa. Ditambah patah tulang di kaki dan tangannya membuat Junda tidak dapat bergerak bebas.

Dia sendiri tidak terlalu ingat seluruh kejadian yang terjadi di malam itu. Hal terakhir yang paling membekas adalah sorot lampu mobil dari arah kanan, hantaman yang membuat tubuhnya terasa terbang, dan yang terakhir pandangannya yang menggelap. Hanya itu, tidak ada lagi.

Lalu hari ini, yang tidak Junda ketahui tanggal berapa, dia membuka mata dan disambut dengan isakan Mama kemudian disusul dengan sebuah pelukan.

Hatinya menghangat, tapi juga mencelos.

Apalagi Papa yang juga hadir menemaninya di sini, perasaan Junda makin campur aduk.

Satu sisi bahagia karena merasa diperhatikan dan diperlakukan sebagai anak, dan di sisi lain merasa tidak terima karena dia harus nyaris mati dulu baru bisa mendapat kasih sayang dari orang tuanya.

"Apa Junda harus kayak gini dulu baru ditangisi, dipeluk, dan ditemani?" tanya Junda tanpa basa-basi.

Dia sudah kepalang lelah.

Mendengar pertanyaan Junda, Papa diam saja. Di sisi brankar lain ada Mama yang makin mempererat genggamannya pada tangan Junda yang terbebas dari infus.

"Mama sama Papa minta maaf." Begitu kata Mama tanpa mampu memandang mata Junda.

Junda melengos, sekalian melirik Papa. Ternyata Papa diam saja karena gengsinya melebihi rasa sayangnya.

"Junda juga minta maaf. Junda banyak salah. Junda belum bisa jadi anak seperti yang diharapkan Mama dan Papa."

"Mama sama Papa nggak mengharapkan apa-apa, kok," kata Mama.

Junda hanya tersenyum tipis. Dia tidak mau menaruh harapan lebih pada ucapan Mama dan Papa, apalagi jika membahas tentang nilai, prestasi, dan pencapaian. Junda bermaksud melindungi dirinya sendiri dari sakit hati yang pasti akan timbul jika apa yang diucapkan Mama hanyalah omong kosong belaka.

Junda tidak berniat memandang wajah Mama yang kini berada tepat di depannya. Dia lebih memilih memindai sekeliling ruang inap yang hampir seluruhnya dipenuhi warna putih, hingga tanpa sengaja pandangannya terkunci pada pot sukulen yang tersimpan di atas nakas.

Junda mengernyit, merasa tidak asing dengan pot berisi sukulen tersebut. Setelah mengingat-ingat, Junda tahu bahwa pot sukulen itu sebelumnya milik Kinan. Tidak perlu diragukan lagi karena Junda lah yang mengantar Kinan membeli beberapa pot sukulen dan yang ada di atas nakas samping brankar adalah salah satunya.

Tepat ketika Junda akan membuka mulut untuk bertanya, pintu ruang inapnya diketuk dan beberapa saat kemudian muncul seorang gadis berambut panjang dari balik pintu.

Mama dan Papa langsung menyingkir keluar, memberi ruang untuk Junda dan gadis yang diketahui sebagai teman Junda itu.

"Udah sadar lo?" Kalimat pertama yang diucapkan Riana begitu dia melihat mata Junda akhirnya terbuka.

"Pake nanya! Nggak lihat mata gue udah kebuka lebar gini?!" ucap Junda marah-marah seraya membuka matanya lebar-lebar.

Riana terkekeh. "Oh udah bisa marah-marah, berarti udah sembuh."

Senja & Pesawat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang