12 - Sang Pemberi Damai

54 13 0
                                    

Dari kecil Junda selalu diajarkan kalau setiap hari adalah berkah dari Tuhan. Jika seseorang dapat bertemu dan hidup sampai dengan hari ini, maka orang itu termasuk golongan orang-orang yang beruntung. Tentu saja hal itu harus disyukuri.

Namun, bagi Junda tidak. Hampir setiap hari dia selalu mengutuk hari-harinya. Alih-alih bersyukur karena masih diberi kesempatan bertemu dengan hari ini, Junda justru ingin sekali menghilangkan hari-harinya. Dan dari sana Junda menyimpulkan, mereka yang menganggap setiap hari merupakan keberuntungan hanyalah orang-orang yang memiliki hidup indah dan bahagia. Sedangkan, dirinya? Menyedihkan.

Jika Junda bisa, dia ingin sekali menghilangkan hari ini. Entahlah, tapi firasat Junda bilang hari ini tidak akan berjalan dengan baik.

Junda tidak bercanda ketika dia bilang ingin menghilangkan hari ini. Sekarang saja Junda masih berbaring di atas tempat tidur dengan selimut yang membungkus tubuhnya, padahal jam sudah menunjukkan pukul lima pagi.

Junda hampir memejamkan matanya lagi ketika dia ingat kalau dia tidak ingin bertemu dengan Papa dan Mama. Jika dia terlambat turun, bisa dipastikan dia akan terjebak di meja makan bersama mereka. Mata Junda yang awalnya setengah terbuka langsung mentereng lebar. Dengan gerakan secepat kilat Junda turun dari tempat tidur lalu menuju cermin.

Melihat keadaan wajahnya, Junda terkekeh kecil mengejek dirinya sendiri. Wajah tampannya kini terlihat menyedihkan dengan sudut bibir robek dan bawah mata kanan memar-memar. Inilah alasan Junda mengapa dia tidak bersemangat menjalani hari ini.

Setelah selesai memandangi wajahnya yang menyedihkan, Junda bergegas menuju kamar mandi. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk Junda menyelesaikan mandinya, kemudian ditambah sepuluh menit untuk bersiap-siap. Hanya dalam waktu dua puluh menit Junda sudah siap untuk turun dan pergi.

Seperti yang Junda inginkan, Papa dan Mama belum memulai aktivitas dan rumah masih sepi. Tanpa berpamitan terlebih dahulu Junda langsung keluar rumah.

Begitu dia keluar, udara segar khas pagi hari langsung menyambutnya. Matahari juga masih malu-malu untuk menampakkan seluruh sinarnya. Junda tidak heran karena hari memang masih sangat pagi.

Namun, ada satu hal yang membuat Junda keheranan. Yaitu keberadaan gadis bergaun hitam yang kini sedang merokok santai di depan gerbang rumahnya yang masih terkunci.

Junda hanya geleng-geleng kepala. Bisa-bisanya gadis itu sudah keluyuran padahal kemarin hampir mati keracunan.

"Ngapain?" tanya Junda sambil membuka gembok.

Kinan yang semula bersandar di gerbang sontak berjingkat kaget.

Bukan tanpa alasan Kinan berada di depan rumah Junda pagi-pagi begini. Ancaman laki-laki gila kemarin yang menjadi alasan utama mengapa Kinan sudah standby di sini. Dia khawatir kalau terjadi apa-apa dengan Junda.

Kekhawatiran Kinan makin menjadi-jadi ketika dia menoleh dan mendapati wajah Junda yang lebam. Pikiran Kinan langsung kemana-mana dan dia bersumpah akan menggorok leher laki-laki gila itu jika lebam pada wajah Junda merupakan hasil dari perbuatannya.

"INI KENAPA?!" Teriak Kinan.

Junda hanya memejamkan mata, pasalnya Kinan berteriak tepat di samping telinganya. "Nggak apa-apa."

Diluar dugaan Kinan justru menekan bagian wajah Junda yang lebam dengan telunjuknya. Cara Kinan menekan tidak main-main, dia menekan dengan kekuatan.

Jelas Junda langsung memukul tangan Kinan. "Sakit, Bodoh!"

"Ini kenapa?"

"Biasalah."

"Biasalah gimana?" Kinan terus bertanya. Dia harus memastikan lebam Junda disebabkan oleh siapa.

Senja & Pesawat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang