Hidup ini penuh dengan kemunafikan. Tidak semua orang yang baik di depan, juga baik di belakang. Tidak semua orang akan turut berbahagia ketika orang lain bahagia. Tidak semua orang turut bersedih atas musibah yang menimpa orang lain. Bahkan diantaranya, ada yang bersenang-senang di atas kesedihan orang lain, ada juga yang merayakan kegagalan orang lain.
Bagian paling sakitnya adalah, ketika menemukan fakta bahwa orang terdekat yang selama ini dipercaya, ternyata hanya pura-pura.
Di bawah rimbunnya dedaunan pohon ketepeng Fakultas Kedokteran, Dion tertawa keras di sela-sela kegiatan meneleponnya.
Entah siapa yang berada di seberang sana. Yang jelas obrolan mereka terdengar begitu seru.
"Udah, dong. Gimana? Gue keren, kan?" Kemudian Dion tertawa lagi.
"Gue temenan sama Junda cuma buat cari kelemahannya doang. Lo tahu? Dia lemah banget, tapi gue nggak kasihan."
Entah apa yang dikatakan orang di seberang sana, Dion tertawa keras seolah ini adalah hari paling bahagianya.
Namun, jika dipikir-pikir memang benar, hari ini adalah hari yang baik bagi Dion. Hari dimana Junda merasa kesulitan dan menemui kegagalan adalah hari terbaik bagi Dion.
Dion merasa dirinya tidak jahat. Menurutnya, dia sudah melakukan hal yang benar. Dia hanya berjuang untuk mendapatkan tempat nomor satu. Dan menjatuhkan Junda adalah salah satu bentuk perjuangannya. Oleh karena itu, Dion sama sekali tidak menyesal.
Tidak lama kemudian, Dion mengakhiri panggilan telepon tersebut.
Bersamaan dengan panggilan telepon yang ditutup, suara tok-tok-tok dari heels yang beradu dengan paving terdengar memenuhi setiap rongga telinga Dion. Lantas dia menoleh, dan di detik itu juga dia menemukan seorang gadis bergaun hitam dengan kacamata yang bertengger tegas di hidungnya.
Dion tahu siapa gadis itu. Lantas dia tersenyum dan melambai.
"Hai, Kinan." Begitu sapanya.
Kinan tidak mengindahkan sapaan Dion. Dia sama sekali tidak tertarik.
"Kita udah kenalan belum, sih?" Dion kelihatan berpikir, kemudian laki-laki itu mengulurkan tangannya. "Gue Dion"
Alih-alih membalas uluran tangan Dion, Kinan justru tersenyum miring sambil melepaskan kacamata hitamnya.
"Saya yakin kamu sudah tahu siapa saya."
"Kinan, kan?"
Kinan memperhatikan laki-laki di depannya itu dari atas sampai bawah. Dan ketika dia melihat sesuatu yang ada dalam genggaman tangan Dion, Kinan langsung tersenyum manis.
Senyum manis yang akan menjadi awal dari sebuah mimpi buruk.
"Kamu nanti ada presentasi?" tanya Kinan.
Dengan cepat Dion mengangguk. Walau sebenarnya dia sedikit heran kenapa Kinan menanyakan itu padanya.
"Boleh saya pinjam flashdisk dan laptop kamu?"
"Buat apa?"
"Saya cuma mau lihat."
Dion tidak akan semudah itu memberikan laptop dan flashdisk-nya pada Kinan. Dia menggeleng, tidak mengijinkan Kinan untuk meminjam laptop dan flashdisk-nya.
"Mending nggak usah deh." Dion menolak. Lalu sedetik kemudian, laki-laki itu mulai mengambil langkah pergi.
Lantas apakah Kinan menyerah?
Tentu saja tidak. Menyerah bukanlah gaya Kinan.
Ketika Dion melewati dirinya, dengan cepat Kinan mengambil laptop yang laki-laki itu bawa. Jelas Dion akan langsung menoleh. Jadi tanpa membuang-buang kesempatan, Kinan melempar laptop Dion sekeras mungkin di depan mata pemiliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja & Pesawat
FanfictionJunda hanyalah seekor burung dalam sangkar emas yang diciptakan Papa dan Mama. Jika bisa, dari dulu Junda pasti sudah keluar dari sangkar yang diciptakan Papa dan Mama. Tapi sayangnya Junda tidak bisa. Junda bertahan di keadaan ini bukan karena dia...