14 - Rumah yang Sesungguhnya

61 12 2
                                    

Di antara cahaya bulan yang menelusup masuk melalui celah-celah jendela, Junda duduk diam di depan piano kesayangannya. Piano yang dulu Junda bangga-banggakan, tapi kini terasa menyakitkan ketika melihatnya. Malam ini, Junda kembali rindu saat-saat dimana dia bisa bermusik sepuasnya. Dia rindu mengekspresikan perasaan lewat musiknya. Dia rindu bercumbu dengan nada-nada indah yang dia mainkan.

Junda ingin memainkan pianonya lagi saat ini, tapi sedang ada Papa. Apakah tidak apa-apa?

Akhirnya setelah mengalami konflik batin yang cukup lama, Junda memutuskan untuk memainkan pianonya saja. Tidak peduli jika Papa akan marah atau bagaimana, dia hanya ingin bersenang-senang malam ini.

Dan akhirnya, sebuah melodi mengalun merdu memenuhi kamar Junda. Di antara remangnya kamar yang hanya disinari cahaya bulan, Junda menarikan jemarinya di atas tuts-tuts piano. Dengan lincah jarinya berpindah tanpa salah dari satu tuts ke tuts lainnya. Junda sangat menikmati permainannya.

Perlahan-lahan Junda merasakan dirinya pulang ke rumah. Rumah yang bukan hanya sekadar bangunan, tapi rumah yang sesungguhnya. Rumah yang membuatnya nyaman. Rumah dimana dia bisa menjadi dirinya sendiri.

Namun sayangnya, tidak lama setelah Junda menemukan kembali rumahnya yang sudah lama tidak didatanginya, dia harus ditarik paksa untuk keluar dan tidak mendekati rumahnya ketika Papa tiba-tiba masuk ke kamar dengan amarah yang menggebu.

"Berhenti bermain-main dengan piano itu Arjuna Juanda!" Teriak Papa begitu masuk ke kamar Junda.

Junda lantas berhenti, tapi dia tidak menoleh sama sekali. Keinginannya untuk bersenang-senang sudah hancur.

"Sekarang bukan lagi saatnya untuk bermain-main, kamu harusnya sadar kewajiban kamu itu belajar!"

Junda tersenyum miring. Belajar kata Papa?

"Papa paham betul akan kewajiban, tapi apakah Papa juga paham akan hak yang seharusnya Junda dapat?" tanya Junda lirih.

Detik berikutnya Junda berdiri, kemudian melangkah mendekati Papa. Dia tahu konsekuensinya tidak baik jika melawan Papa, tapi apa daya, dia ingin menyuarakan semua yang selama ini menyumpal dalam dadanya.

"Papa nggak lihat itu." Junda menunjuk belasan gumpalan tisu yang tergeletak di atas meja belajarnya. Bukan gumpalan tisu bersih, tapi terdapat bercak darah mimisan.

"Junda mau istirahat sebentar," lanjut Junda dengan tatapan nelangsa.

Hati Junda terasa tercabik-cabik karena Papa yang seharusnya menjadi pelindungnya justru menjadi orang yang paling menyakitinya. Jika ditanya apakah Junda menyesal memiliki ayah seperti Papanya? Sungguh Junda tidak menyesal karena memiliki ayah seperti Papa bukanlah kuasanya. Namun, jika diberi kesempatan untuk memilih. Tentu dia tidak akan memilih ayah seperti Papanya.

"Kemarin kamu pulang sama siapa?" Nada bicara Papa semakin dingin.

Dahi Junda reflek berkerut, dia mencoba mengingat-ingat bersama siapa dia pulang kemarin.

Dan ya! Kinan.

Dia pulang bersama Kinan.

Junda bahkan belum sempat menjawab ketika Papa sudah berbicara kembali.

"Mulai nggak nurut kamu!"

Junda memejamkan mata. Papa mulai lagi.

"Jaga jarak dengan perempuan itu! Papa yakin dia bukan wanita baik-baik. Dandanannya, pakaiannya, wajahnya, semua mencerminkan kalau dia wanita nakal. Belum lagi dia berani pulang malam. Dia wanita nggak bener! Menjauh dari dia!"

"Tau apa Papa soal dia? Papa nggak kenal dia, Papa bahkan nggak pernah ketemu dia. Papa nggak berhak menilai dia seperti itu bahkan sampai bilang dia wanita nakal!" sanggah Junda.

Senja & Pesawat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang