||END||

140 20 20
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم


Epilog bukanlah sebuah akhir

       Siapa aku?
Mungkin itulah pertanyaan pertama yang terlintas di benakku setelah sadar dari ujung tanduk kehidupan. Aku hanya bisa kesakitan seakan menjadi orang yang amat tidak berguna. Bagaimana tidak? Orang-orang di sekitarku kala itu kalang kabut hanya karena ringisanku. Itu adalah hari yang bagai menjadi penutup bagi kisah seorang Zayid Karima.

Kini aku seperti bereinkarnasi menjadi Zayid 'yang lain'. Aku melupakan segalanya, segala yang pernah menjadi kehidupanku. Semuanya seakan tidak menunjukan secuil ingatan bagiku. Aku hanya bisa 'nyaman' dengan kehidupan baru yany seharusnya tidak aku dapatkan. Bagaimana mungkin aku bahagia di saat aku saja merasa asing dengan diriku sendiri?

Semua begitu cepat berlalu hingga tanpa sadar takdir sudah memanggil, membunyikan alarm untuk penanda jika itulah saatnya aku mengingat, mengingat segalanya yang harusnya aku ingat.

Satu hal yang ingin kutanyakan pada diriku sendiri.

Apakah setidakpenting itukah kehidupanmu yang dulu hingga empat tahun lamanya kau tidak mengingat apa pun?

Ah, semuanya tidak akan kembali dengan hanya aku yang meratapi nasib.

Aku kehilangan segalanya. Kehidupanku yang dulu, teman-temanku yang dulu, dan ... adikku. Yang paling menyesakan adalah kenapa aku harus melupakan adikku semdiri? Harusnya dia yang dekat denganku bisa menjadi salah satu orang pertama yang memperkenalkan diri lalu menuntunku untuk mengingat.

Sulit bagiku untuk bertahan di situasi ini. Aku ingin menyerah, tapi aku tidak bisa kembali lupa. Yang kupertanyakan lagi adalah mengapa orang-orang di sekitarku tidak ada yang mengangkat topik soal aku yang memiliki saudara? Kenapa?

Kini, percuma aku menuntut jawaban. Adikku, Wafiq Salima sudah berada di sana, di pangkuan Tuhan. Aku tidak bisa mengambilnya kembali meski kini aku perlahan mulai mengingat segalanya tepat saat aku mendapatkan memory card ini.

"Assalamualaikum. Hai, aku Wafiq Salima. Hari ini, aku cukup bahagia. Kakakku membelikan sebuah kamera untukku. Membahagiakan, 'kan? Ya! Memang membahagiakan karena memiliki kakak sepertinya. Katanya aku udah gak punya orsng tua, tapi nyatanya gak gitu. Aku punya kakak yang memiliki 3 peran sekaligus dalam hidupku. Dia seperti ayah, ibu, dan kakak yang baik untukku. Kadang, aku merepotkannya dengan ini-itu. Dan ya, mungkin kakak gak akan tahu kalo aku gak pernah minum obat lagi. Tahu rasanya? Nggak enak. Aku bahkan pernah sampe muntah darah. Obat macam apa itu?"

Aku tersenyum, tersenyum getir lebih tepatnya. Aku menatap pusara di depanku lalu kembali beralih pada handycame yang ada di tanganku. Gadis di dalam handycame ini terus mengoceh, tapi itu yang membuatku bahagia, membuatku mengenal diriku yang dulu. Bahkan adikku tidak tampak seperti orang pesakitan. Kenapa aku bisa serindu ini padanya? Aku menyayanginya, sungguh. Aku mengingat bagaimana ia sering tertawa dulu meski itu hanya ingatan sekilas, tapi aku tetap bahagia.

Aku mematikan handycame-ku. Rasanya cukup menyakitkan melihat adikku terlalu lama. Aku hanya takut tersakiti akan luka yang kubuat sendiri. Aku kakak yang begitu kejam. Dua tahun setengah menuju ajalnya, adikku berjuang sendiri yang di mana harusnya ada aku di sampingnya untuk menguatkan. Aku rasa, aku tidak pernah sehancur ini.

Sayatan di hatiku masih terasa begitu nyata. Aku ingin kembali melupakan soal adikku yang membuatku merasa benci pada diri sendiri, tapi bukankah aku jadi berlaku kejam pada adikku?

Aku mengusap pusara Wafiq seakan aku tengah mengusap kepalanya dengan lembut. Tiba-tiba hatiku menghangat dibuatnya.

"Dek, kamu gak tahu gimana rasanya kehilangan, ya? Kakak jadi keliatan jahat dengan cara kamu pergi yang seperti ini." Aku berujar, tidak peduli jika Wafiq tidak akan menyahut. Aku menaburkan kelopak-kelopak mawar di atas gundukan tanah yang menjadi tempat kembalinya Wafiq.

"Kakak padahal belum inget kamu. Seenggaknya kamu bertahan sampai Kakak benar-benar ada buat kamu. Maafin Kakak yang datang terlambat ya, Dek." Aku tersenyum ke arah pusara.

Setiap seminggu sekali aku melakukannya. Aku sempatkan waktu untuk mengunjungi Wafiq, mengirim doa, dan mengobrol meski aku tahu jika aku terlihat seperti orang aneh yang bicara pada orang yang sudah meninggal. Bagiku, itu bukanlah masalah.

Aku meraih sepucuk surat di saku jas hitamku lalu kubuka lipatan demi lipatan. Aku membacanya, meresapinya hingga menusuk sanubari. Aku tidak peduli telah berapa kali kusaksikan deretan tulisan ini karena pada akhirnya aku merasakan ada Wafiq di sini, di tulisan ini.

"Ini bukan akhir, melainkan sebuah awal menuju kehidupan kekal. Kita akan bertemu di Jannah, in syaa Allah. Dunia ini hanya persinggahan dan kita tidak perlu tinggal di persinggahan, 'kan?" Lagi dan lagi aku membalas untuk menyahut ucapan yang tertuang di dalam tulisan.

Aku tersenyum, mencoba merelakan semua yang telah terjadi.

"Apa pun halangan, bagaimana pun cobaannya, dan di mana pun kita berada, Kakak adalah kakak kamu dan kamu adalah adik Kakak, Wafiq. Kakak sayang kamu."

—END—

Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh

Pertama-tama aku mau ucapin terima kasih kepada para readers yang udah mau baca cerita seberantakan ini sampe ke titik END. Alhamdulillah Allah ridhoi cerita ini selesai dan aku cukup bangga. Soal revisi mah nanti aja deh wkwkw😂

Aku juga mau minta maaf sama readers atas segala kesalahan yang ada di cerita ini baik disengaja atau pun nggak disengaja.🖤

Aku mau minta tolong pada readers. Tolong jangan ikuti yang tidak baik dari cerita ini. Ambil yang baik-baik aja biar jadi berkah buat semuanya😸

Aku juga mau berterima kasih sama Writer's of Wattpad yang udah mendukung project ini. Kalo gak ada dorongan dari admin WOW dan para member yang uwwu-uwwu, aku gak ada kepikiran buat namatin cerita ini. Terima kasih atas support-nya💙

Semoga kita dapat menghasilkan karya yang bermanfaat bagi orang banyak🖤 Aamiin Allahuma Aamiin.

Jazakumullah khair🖤

Remember © 2020

Remember [Rampung] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang