[10] Together is Better☔

108 28 33
                                    

بسم الله الر حمن الر حيم

Kamu merasa sendiri
karena keegoisan
yang kau tanam dalam
hatimu. Jika kamu mampu
membuka hati untuk berbagi
dengan orang lain, apakah
kesepian masih bisa terselip
dalam rongga hatimu?

    "Kenapa sama Wafiq?"

Rasanya tubuh Zayid mendingin hingga rasa dingin tersebut sampai ke ususnya. Detik seperti menahan langkah, menunggu Zayid pintar sendikit saja untuk mencerna keadaan. Ia mulai terhimpit lebih dulu.

"WAFIQ!!"

Teriakan itu menyeret akal yang sempat tersita ruang khayal, membangkitkan kembali rasa "tertangkap basah".

Wafiq beralih pada gadis yang kini luruh di lantai. Syaira, gadis itu memeluk tubuh sahabatnya dengan begitu erat. Mungkin sudah hakikatnya wanita menangis dengan hal-hal yang menyedihkan hati. Wanita memang diciptakan untuk selalu membawa perasaan sedangkan lelaki tercipta dengan membawa logika di setiap langkah.

Tangisan itu bagai backsound di tengah nestapa hati yang tengah melanda Zayid. Prasangka-prasangka mulai bermunculan di benaknya. Rentetan praduga sudah tertancap dalam pikirnya. Kepala sudah mulai memutar alibi lebih dulu.

"Zae, gue mau bicara sama lo!"

Sebentar, ia resapi ucapan Reano yang beberapa detik lalu berdiri di ambang pintu dengan aura yang berbeda. Zayid meninggalkan posisinya. Ia percaya jika Syaira bisa menenangkan Wafiq jauh lebih baik darinya sementara ia menemui Reano.

Tangan ia semakin erat melingkari tubuh mungil sahabatnya. Bingung adalah satu kata yang mewarnai hati saat ini. Semua terasa menakutkan dan mencekam. Ia serasa dibantai seseorang yang tidak bisa diraba netra. Ia bak dikejar bayangan semu yang cukup sukses membuat nyawanya hampir minggat.

"Kamu tenang. Semua baik-baik aja, Fiq. Gak usah khawatir dan gak usah takut. Ada aku di sini 'kan?"

Syaira mengalihkan matanya pada benda yang menarik atensinya. Cermin, cermin itu memberinya jawaban.

Menangis adalah opsi yang Wafiq pilih. Tidak ada kata yang ia ingin ucapkan. Setidaknya dengan air mata dan dekapan hangat, rasa takut itu menguap seperti air laut. Ia harap begitu adanya.

Tidak butuh waktu lama untuk Wafiq berubah, berubah menjadi semakin histeris. Kelebatan kejadian beberapa menit lalu, membuatnya gentar. Lagi dan lagi terulang entah sampai kapan. Usahanya tenang tiada hasil.

"Hey, tenanglah. Afiq, kamu tenang," ucap Syaira begitu lembut, kontras dengan jeritan Wafiq yang memenuhi ruangan.

"AKU TAKUT! AKU, AKU GAK TAHU DI—"

"Ssstt ..." Syaira menempelkan telunjuknya dengan tenang tepat di bibir mungil Wafiq. Seulas senyum tergulung di wajah eloknya meski ada misteri di balik senyumnya.

"Semua akan baik-baik aja kalo kamu anggap semuanya baik. Kamu gak perlu takut dengan semua ini karena kita punya Allah. Allah akan jaga kamu, Fiq."

Perlahan tubuh yang sempat bergetar itu mulai tenang. Tatapannya mulai damai ketika bersirobok dengan iris mata Syaira.

"Tapi, dia, dia itu—" Ucapan itu kembali terpotong.

"Jangan pikirkan sosok yang ada di cermin itu. Hanya ada kamu, nggak ada orang lain, oke?"

Remember [Rampung] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang