[8] Takut Kehilangan☔

116 30 28
                                    

بسم الله الر حمن الر حيم


Sejak kapan kita
menjadi dua orang asing
yang terisolasi dalam
satu rumah?

J

ika ada yang bertanya lebih memilih menunggu atau mencari, jawabannya adalah tidak ada. Menunggu itu bukan lelah yang berjalan ke mana-mana, tapi menunggu itu lelah berdiam diri, bergelut dengan kesabaran. Jika ditanya lelahnya mencari, sudah pasti semua tahu jawabannya. Memutar otak untuk mengira-ngira jawaban, melaksanakan jalan pencarian, ditambah lagi harus mengelus dada jika saja hal yang dicari belum juga ditemukan.

Setengah jam mencari, namun belum ada tanda-tanda Zayid menemukan Wafiq. Rasa khawatir yang berujung sakit kepala sudah ia rasakan sejak tadi. Ia pasti flu.

Zayid sibuk mengedarkan pandangan ke sisi-sisi jalan, berharap ada adiknya di sana. Nihil, ia tidak menemukan adiknya.

Belum genap 1 bulan Alzheimer mengendap pada Wafiq, tapi Zayid sudah menyaksikan beberapa kejadian yang sudah dokter katakan sebelumnya. Bukan ucapan dokter itu yang menjadi penentu kehidupan Wafiq, tapi prediksi itu dikatakan berdasarkan pengalaman beberapa orang pengidap Alzheimer.

"Zayid, 7 dari 10 orang dinyatakan tidak bisa sembuh dari Alzheimer, tapi saya yakin Wafiq adalah diantara 3 orang yang sembuh."

Apakah itu bisa menjadi nyata atau hanya bualan untuk membuatnya yakin?

"Ya Tuhan, Wafiq di mana?" Batas kesabaran Zayid rasanya hampir melampaui batas. Ke mana lagi ia harus mencari?

Hujan yang menemani orang-orang penikmat jalanan kian deras. Di bawah jutaan rintik itu tersimpan banyak ekspresi hati. Bahagia, sedih, marah, gelisah.

"Hatci!" Mulai ada tanda-tanda flu yang menyerang Zayid, namun ia harus tetap bertengger di motor maticnya untuk mencari dan terus mencari.

"Ya Allah!"

Zayid langsung turun dari motornya. Ia menembus tirai hujan dengan lariannya. Napasnya memburu dengan jantung yang tidak mengikuti irama seperti biasa.

"WAFIQ!"

JBUR

Tanpa memikirkan kondisi tubuhnya nanti, Zayid menceburkan dirinya ke air danau demi menyelamatkan seorang gadis yang ia lihat tangannya saja. Nama yang ia gaungkan adalah spontanitas, mengingat otaknya penuh dengan nama tersebut. Kepalanya sudah dipenuhi prasangka buruk perihal kondisi perempuan ini nantinya.

Deg!

"Wafiq..." lirihnya ketika wajah perempuan itu muncul ke permukaan air dengan mata yang tertutup.

Jantung Zayid seperti akan menemui detik-detik terakhir untuk berdetak. Wajah pucat Wafiq sudah sukses menyelimuti Zayid dengan kekalutan. Apa ia akan ditinggalkan Wafiq dengan cara seperti ini?

"Dek, bangun. Dek." Zayid menepuk-nepuk pipi Wafiq kala ia berhasil membawa gadis itu ke tepi danau. Ingin sekali rasanya mengenyahkan prasangka buruk tentang keadaan Wafiq nantinya, tapi tetap saja ia terus dibayangi.

"Dek..." Zayid terus menepuk pipi Wafiq yang ada di pangkuan tangannya.

Zayid merasa gagal sebagai kakak. Ia tidak bisa menjaga adiknya dengan baik bahkan belum ada senoktah kebahagiaan untuk Wafiq. Bagaimana bisa ia menjadi kakak yang seburuk ini? Saking kalutnya, Zayid mendadak bodoh. Ia hanya terpaku dalam posisi ini, berharap ada keajaiban yang membukakan mata adiknya.

"Dek, ayo bangun!" Zayid mendekap kepala Wafiq. Ia beralih menatap wajah Wafiq dengan penuh harap. Mendadak Zayid merindukan senyum yang sering ia lihat diam-diam dibalik tembok. Ia tiba-tiba rindu dengan percakapan dingin antara dirinya dengan gadis ini.

Hujan menjadi saksi bisu terpakunya seorang kakak pada masa lampau. Hujan mungkin mendengar gumaman hati Zayid yang berharap semuanya kembali ke masa lalu. Ia ingin memperbaiki masa lalu. Ia ingin menjadi kakak yang hangat untuk Wafiq.

Sebuah kecupan dibubuhkan di kening Wafiq meski Zayid tahu jika itu hanya untuk menyalurkan rasa sayang pada sang adik. Untuk pertama kalinya Zayid menunjukan rasa sayangnya sebagai seorang kakak dengan kecupan untuk adiknya. Zayid yang dulu jauh dari hal seperti itu, namun betapa suksesnya Wafiq mengubah Zayid Karima menjadi seorang kakak yang meratap.

"Ukhuk! Ukhuk!"

Suara itu membuat atensi Zayid beralih. Ditatapnya gadis yang memecah keheningan ini. Pertama kali untuk Zayid, suara batuk membuatnya sebahagia ini.

"Dek," panggil Zayid untuk menarik kepingan nyawa Wafiq. Tiba-tiba hatinya menghangat.

Mata itu perlahan terbuka, menyibak alam bawah sadarnya yang melepaskan secara perlahan. Seorang lelaki tengah mengulum senyum ke arahnya. Wafiq biarkan otaknya bekerja menarik butiran nyawa yang sempat terbang entah ke mana.

"Kakak..."

Kata itu seperti magnet yang menarik Wafiq pada Zayid. Zayid memeluk adiknya dengan begitu erat. Kata itu benar-benar ajaib hingga membuat segala kekhawatiran lenyap seketika.

"Kakak." Tangis Wafiq pecah dalam dekapan kakaknya. Ia takut, sangat takut. Tubuhnya gemetar mengingat kejadian yang telah membuatnya putus asa dan hampir meregang nyawa.

"Ada Kakak di sini," ucap Zayid menenangkan. Akhirnya ia bisa bernapas dengan lega. Rasa takut kehilangan pasti ada karena ia masih orang normal.

Beberapa waktu dibiarkan Zayid untuk melepas rasa kalut satu sama lain. Ia biarkan air hujan membasahi tubuh mereka dan menguapkan segala unek-unek yang tersimpan. Entah apa yang membuat Wafiq bisa tenggelam di danau, tapi yang jelas Allah masih menyayangi gadis itu dan Zayid sendiri. Rasa lega mendominasi relung dada meski tidak bisa dielak rasa takut kehilangan masih tersisa di sana. Tidak tahu jadinya jika ia terlambat menyelamatkan Wafiq.

"Kakak, aku takut. Ta-tadi aku—"

"Ssstt... Afik, semua akan baik-baik aja. Di sini ada Kakak. Kamu gak akan kenapa-napa." Zayid mengusap kepala Wafiq yang masih ditutupi hijab. Tidak akan pernah ada seorang kakak yang rela kehilangan adik satu-satunya.

Aku janji akan melepaskanmu dari Alzheimer, Afik. Aku janji.

Assalamu'alaikum

Maaf, Kawan's. Aku lagi buntu ehe. But, in syaa Allah next chapter lebih bagus. Maaf, ya:(

Jazakumullah khair

Remember © 2020

Remember [Rampung] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang