[17] Sahabat☔

67 21 32
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم


Jika memang dia sahabatmu,
meski kau terperosok dalam
kelamnya dunia, pastilah kau
temukan dia tengah mengulurkan
tangannya untukmu

    Hanya duduk dan berserah diri, itulah Zayid. Satu jam berlalu ditemani dengan secangkir cappucino yang mendingin tanpa kepulan asap tipis darinya. Ke mana ia harus mengarahkan diri?

Putus asa?

Kecewa?

Marah?

Ingin menyerah?

Empat opsi yang sama-sama tidak berguna. Takdir memang terus bergulir, menggerus emosi sedikit demi sedikit. Takdir memang bagai roda, ya? Kadang berada di atas, tapi bisa seketika berada di bawah. Sekarang bukan saatnya mengeluh karena posisi berada di bawah karena bahkan matahari pun tidak keberatan meski posisinya diambil alih oleh bulan dan bintang di malam hari.

"Wadaw!! Tarro crash,  Man!"

Zayid tersadar dari lamunan panjangnya. Ia lupa jika di sebelahnya di mana ia duduk di sofa ada seorang makhluk yang tengah ribut dengan tidak jelasnya.

"Ya Tuhan! Ya Tuhan! Ya Tuhan!"

Satu jam terjebak dengan rasa cemas dan makhluk jadi-jadian ini sungguh menyiksa. Zayid mengembuskan napasnya, penat. Ia menengok ke arah lantai atas, menunggu dengan harap-harap cemas dengan keadaan seseorang di dalam sana.

"Aaaaa!!!"

"Kok lo matiin tv-nya?" protes Zayid yang melihat ke-stress-an sahabatnya ini. Dengan seenak jidat, Reano berteriak lalu melempar remote ke sembarang arah.

"Bodo ah! Masa iya Quaratararo kalah sama Mir? Aaa!! Gue gak terima!! Hampir aja dia mau jadi jurdun, masa iya ketikung sama Mir?"

Zayid hanya mendelik tajam dengan tingkah konyol Reano yang mengoceh kuadrat tentang MotoGp. Apalah daya Zayid jika Reano sudah dihadapkan dengan siaran langsung dari cabang olahraga populer itu. Ia menekuk wajahnya kesal karena lamunannya terganggu dengan celotehan tak bermakna lelaki di sebelahnya.

"Males gue, males. Pengen nikah aja," celetuk Reano yang terdengar ngawur. Zayid sudah memaklumi kelainan sahabatnya ini sejak lama.

Beberapa menit terdiam sungguh menenangkan. Setidaknya Zayid damai dalam pikirannya yang sama sekali tidak bisa berhenti berputar. Malam hari yang sunyi mungkin sedikit mencekam apalagi dengan rentetan bayangan kekecewaan Wafiq atas fakta yang diketahuinya tadi pagi. Mungkin terdengar sangat berlebihan, tapi Zayid memiliki alasan dengan perasaan cemasnya. Wafiq bisa saja memaksa Malaikat Izrail untuk mencabut nyawanya.

Bagaimana caranya Zayid menguatkan dirinya sendiri agar bisa memberi kekuatan lebih untuk adiknya?

"Zae, tadi gue lempar remote ke mana, ya?" Reano lagi-lagi menganggu. Lelaki itu sudah dua kali berhasil membuyarkan segala khayal Zayid sekaligus.

Rasanya Zayid ingin marah, entah karena takdir adiknya atau karena sahabatnya yang seperti cacing kepanasan. Ingin rasanya mencekik Reano agar sekali saja lelaki itu diam. Wajah tampan lelaki itu tidak berguna dengan sikap konyolnya yang sidah mendarah daging bahkan mungkin sudah mengkontaminasi tulang.

Remember [Rampung] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang