[3] Yang Menangis☔

175 39 51
                                    

بسم الله الر حمن الر حيم


Menangis mungkin
terkesan lemah,
tapi ada kalanya yang tersenyum
jauh lebih tak berdaya

   Larian itu perlahan mulai memelan saat ia sampai tujuan. Napasnya tidak teratur karena diburu waktu. Takut kehilangan adalah kunci usaha yang dilakukannya. Tidak peduli sejauh apapun ia berlari, namun yang terpenting adalah denyut nadi adiknya.

"Syaira, gimana keadaannya Wafiq?" Zayid langsung melempar pertanyaan pada Syaira yang tengah berdiri bersama seorang gadis berambut hitam.

"Alhamdulillah, dokter udah tanganin Afik dan bilang Afik cuma kelelahan." sahut Syaira dengan wajah yang mulai tenang seperti biasa.

Akhirnya Zayid bisa bernapas lega. Ia tidak bisa bayangkan bagaimana jika ia kehilangan Wafiq. Mendengar kata 'masuk rumah sakit' yang disandingkan dengan nama Wafiq dalam satu kalimat saja sudah membuat  Zayid merasa kehilangan denyut nadi.

"Gimana keadaan Afik?" tiba-tiba Reano datang dengan napas tersenggal-senggal, capek.

"Ahm, Afik baik-baik aja, Kak." Syaira menyahut. Syukurlah ada Reyna yang membawa Wafiq ke rumah sakit.

Zayid terdiam sesaat untuk menyelami pikirannya sendiri. Detik kemudian ia tersenyum getir. Harusnya di saat seperti ini ada orang tua yang selalu siap, menunggu anaknya di rumah sakit. Apakah orang tuanya peduli akan kondisi Wafiq walau itu hanya demam? Zayid tidak akan pernah memberi kabar pada orang tuanya tentang Wafiq yang masuk rumah sakit. Zayid berjanji.

"Kak Zayid, dokter minta keluarga Afik untuk menemui beliau segera. Katanya ada yang ingin dibicarakan. Kakak tinggal lurus terus belok kanan, nanti kakak ketemu sama ruangan dokternya," lapor Syaira sesuai dengan yang diamanahkan oleh dokter.

Zayid sedikit tersentak saat suara Syaira memecah keheningan. Setelah nyawanya kembali sepenuhnya, Zayid segera pergi meninggalkan posisinya.

Mata itu perlahan terbuka dengan bulu mata yang menghalau cahaya berlebih. Mata itu mulai terbuka sepenuhnya, namun kepingan nyawa belum menyatu. Kepala sudah mulai bekerja untuk menghilangkan sedikit rasa sakit yang timbul dari bangun tidur.

Wafiq ditarik paksa dari alam tidurnya kala gendang telinga tidak sengaja mendengar sebuah isakan tangis. Malam-malam seperti siapa yang sibuk menangis?

Netra coklatnya menangkap seseorang tengah menatap sebuah kertas dengan mata terus mengeluarkan beban bernama air mata.

Zayid. Laki-laki itu menangis di depan sebuah kertas yang ia pegang. Baru kali ini Wafiq melihat kakaknya menangisi sesuatu terlebih itu hanyalah sebuah kertas. Tentu Zayid tidak menangisi kertasnya melainkan menangisi isi dari kertas tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah 'apa isi kertas tersebut?'. Malam hari saja Wafiq harus berpikir mencari jawaban.

"Jangan nangis jam segini. Nanti bangun tidur matanya bengkak."

Tubuh itu sedikit tersentak saat saat gelombang suara menerobos paksa pendengarannya. Dengan cepat ia hapus setiap jejak air matanya. Ditariknya oksigen sebanyak-banyaknya agar dadanya terasa lega. Setidaknya ia harus terlihat baik-baik saja di depan adiknya.

Zayid mengulas senyum tipis lalu memasukan kertas tersebut ke dalam tas secara asal, tanpa dilipat terlebih dahulu. Zayid meraih buku sci-fi miliknya. Hanya melakukan sedikit sandiwara untuk melunturkan keraguan dan rasa curiga.

Remember [Rampung] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang