[4] Yang Tersembunyi☔

150 37 38
                                    

بسم الله الر حمن الر حيم


Ternyata tidak semua
hal yang hilang dapat dicari
dan ditemukan kembali
seperti orang yang ku sayangi

    WAKTU memang kejam. Dia tutup telinga dari jeritan orang-orang yang bersimpuh memintanya kembali. Waktu begitu sombong tanpa menengok dan memberi kesempatan. Dia tetap berjalan seperti yang telah Tuhan inginkan. Ah, bukan waktu yang salah, tapi manusia. Jangan mengarahkan telunjuk pada waktu, tapi tunjuk diri sendiri lalu tanyakan apakah sudah tidak menyia-nyiakan waktu yang Tuhan berikan. Manusia memang diberi sifat yang ingin menang sendiri. Sulit menekan ego.

Jika saja waktu bisa berjalan mundur seperti kehendak hati, mungkin Zayid tidak akan menjalankan jarum jam itu. Apa yang tersisa sekarang? Penyesalan. Menyesal karena telah begitu menutup mata dari kasih sayang orang tua yang mungkin tersisa. Egois? Zayid mengakuinya, tidak ada lagi alasan untuk mengelak.

Pintu jati yang sedari tadi ia tatap tak pernah ia sentuh di hari ini. Ia terlalu takut melihat wajah itu, wajah polos yang kini berhiaskan air mata. Sekarang Zayid sudah benar-benar kehilangan orang tuanya. Bukannya ia harusnya bahagia? Jiwa itu kini bergetar mengingat wajah ayah dan bunda yang berkelebat tidak sengaja lewat di benak.

"ARRRRGH!"

"Wafiq!"

Zayid langsung menerobos pintu yang sedari 15 menit lalu berada di depannya. Ia bergegas mendekati adiknya yang mengerang kesakitan dengan tangan mencengkram kepala, kuat.

"Hoe—"

Zayid berlari mengikuti Wafiq yang berlari ke kamar mandi sembari membekap mulutnya seakan menahan sesuatu untuk tidak keluar. Zayid menemani Wafiq yang memuntahkan makanan yang masuk ke lambungnya. Zayid sebetulnya merasa ikut mual melihat Wafiq memuntahkan isi perutnya ke westafel, tapi ia berusaha tetap mengurut punggung adiknya.

Zayid terus menutup matanya agar ia tidak melihat muntahan itu. Jika sedikit saja ia melihatnya, mungkin ia akan ikut serta seperti Wafiq.

Mata Zayid tidak juga terbuka meski telinga telah mendengar suara keran terbuka. Ia masih takut melihat muntahan itu. Tanganya senantiasa mengurut punggung Wafiq, namun itu sebelum telinga mendengar isakan di sela-sela gemercik air keran.

"Kamu kenapa?"

Zayid langsung membuka matanya lalu memegang kedua bahu adiknya dengan cemas.

Wafiq menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya meski isakan tangis tetap terdengar. Zayid langsung merengkuh tubuh adiknya dalam pelukan, menyalurkan rasa tenang pada Wafiq. Ah, tenang. Bagaimana bisa Wafiq tenang di saat Zayid saja merasakan khawatir yang teramat saat Wafiq menangis. Zayid menengok ke arah westafel dan cairan berwarna merah tersisa di sana. Lemaslah Zayid.

"Kakak, a-aku muntah dar-ah," adu Wafiq di sela tangisannya. Ia langsung takut melihat darah bercampur dengan isi perut yang ia keluarkan.

Zayid tergugu di tempatnya. Lututnya terasa remuk melihat kenyataan yang persis seperti yang dokter vonis. Kata-kata dokter kala itu berputar di otak Zayid bak piringan hitam di atas megaphone, bedanya kali ini bagaikan sayatan maut.

Remember [Rampung] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang