Kekhawatiran Cakra

54 18 41
                                    

Happy Reading, Dear!
.
.
.

Binar mematung. Asumsi baiknya hilang seketika. Ia kira pertolongan Alvi muncul karena sebuah kepedulian pada seseorang yang dikenalnya. Padahal tidak sama sekali. Cowok itu terlalu memberikannya sebuah harapan yang besar.

Gelak tawa terdengar bersahutan. Serilia tak henti-hentinya memegang perut sembari menatap Binar sinis. “Lo denger, 'kan? Alvi bukan peduli, apalagi suka sama lo. Pasang tuh telinganya baik-baik. Dia cuma nganggep lo babu. B-a-b-u.”

Semua itu ternyata tak cukup untuk membuat Binar segera pergi dari sana. Gadis itu justru mencengkeram kertas kosong yang dibawanya hingga tak berbentuk untuk menyalurkan kekesalannya. Tindakan Binar tak luput dari atensi siswa-siswi yang berada di sekeliling tubuhnya.

“Membantu seseorang yang tak dikenal bahkan disebut kepedulian. Apalagi membantu gadis sepertiku yang memang sudah dikenal? Kasihan? Mungkin Kakak lupa atau bahkan nggak tahu. Rasa kasihan juga salah satu bentuk kepedulian seseorang,” tandas gadis itu. Untuk pertama kalinya, ia berani berbicara sepanjang itu. Binar merasa tak lagi bisa menahan semua tekanan yang diberikan kepadanya.

Alvi melirik Binar tanpa minat. Alisnya sedikit terangkat ke atas begitu gadis itu membalas tatapannya. Tak lama kemudian, ia melengos lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Alvi berusaha menahan dirinya dan mengabaikan Binar yang terus mengamatinya.

“Ngayal mulu lo. Sadar diri dong! Udah, ah. Gue udah nggak ada urusan lagi sama lo. Gue peringatin sekali lagi. Jangan sampai lo cinlok sama cowok gue! Kalau sampai kejadian, abis lo!”

Binar menutup mulutnya rapat. Ia tersenyum tipis, bahkan hampir tak terlihat. Hal itu membuat Serilia semakin jengkel. Dengan langkah lebar, gadis itu kembali mendekati Binar.

Ia mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Binar. “Dengerin gue! Lo udah mulai gue baik-baikin, kenapa tambah ngelunjak? Lo mau cari masalah sama gue?”

Hampir saja Binar membalasnya, tetapi urung karena terdengar teriakan dari koridor kelas 11. Seluruh siswa di sana sontak mengarahkan atensinya ke sana dengan wajah pucat pasi. Muncul seorang wanita paruh baya berseragam cokelat muda yang datang tergopoh-gopoh.

“Ya ampun, kenapa kalian semua di sini? Nggak tahu kalau sekarang masih di jam pelajaran?”

***

Setelah menyapu ruangan laboratorium sebagai hukuman yang diberikan oleh guru BK, Binar langsung bergegas menuju kantin. Sejak pagi ia belum memakan apa pun. Tidak ada asupan yang masuk ke perutnya membuat gadis itu merasa sangat pusing.

Dengan membeli beberapa roti lapis dan segelas es teh di bilik paling ujung, Binar segera mengambil duduk di pojok kantin. Ia memilih mengasingkan diri dari seluruh siswa yang berdesakan di sana.

Baru saja Binar menghabiskan selembar roti lapis, kedatangan seorang cowok jangkung berambut ikal cukup membuatnya terkejut. Gadis itu tersenyum tipis tanpa mengatakan apa pun. Matanya berkeliaran—menatap satu per satu siswa yang saat ini tengah memusatkan perhatian kepadanya.

Jelas saja, semua orang pasti tak menyangka bahwa seorang Cakra Ornallo—salah satu anggota terpenting dalam geng The Black—mendadak menghampiri Binar. Cowok itu bahkan selalu terlihat sendiri dan mengabaikan apa yang sedang terjadi di sekitar.

“Lo nggak papa, 'kan? Gue denger … lo abis di-bully sama Serilia gara-gara Alvi, ya?” tanyanya peduli. Jelas terdengar kekhawatiran dalam nada bicaranya.

Hal itu sontak menjadi santapan terhangat bagi siswa yang ada di sana. Binar dengan kemampuan anehnya tiba-tiba saja dekat dengan dua cowok famous pasti menjadi berita yang sangat fenomenal.

Writing a Destiny (Completed) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang