Kepercayaan

27 4 0
                                    

Happy Reading, Dear!
.
.
.

Alvi menyusuri koridor dengan wajah tanpa ekspresi bersama ketiga temannya. Berbeda dengan Saka dan Desta yang saat ini sibuk tebar pesona, Afga hanya diam sambil sesekali melirik Alvi. Dari wajah sahabatnya itu, Afga tahu dengan jelas bahwa Alvi tengah gelisah karena memikirkan sesuatu.

Gumaman gadis-gadis sepanjang koridor yang tak henti mengagungkan ketampanan mereka sama sekali tak dihiraukan. Walau begitu, tak sedetik pun kicauan itu berhenti. Mereka seolah tak keberatan dengan sikap acuh tidak acuh yang ditunjukkan keempat cowok itu.

Setelah merasa jengah dengan kebungkaman Alvi, Afga akhirnya mendekatinya. Kemudian ia berdeham sesaat sebelum berkata selirih mungkin, “Meski lo nggak ngebagi perasaan lo, gue tahu ada yang ganggu pikiran lo saat ini.”

Alvi mengembuskan napas sejenak sebelum menggeleng lemah. Ia menepuk pundak Afga beberapa kali dengan senyum tipis. Berbanding terbalik dengan kondisi hatinya yang saat ini benar-benar buruk.

Setelah itu, Alvi mempercepat langkahnya. Ia tak bisa memastikan bahwa mulutnya tetap bisa bungkam di saat Afga terus saja mendesaknya. Ia semakin kesal tatkala melihat Saka tengah bermesraan dengan seorang adik kelas berambut gelombang. Hal itu membuatnya sangat muak.

Berniat untuk segera masuk ke dalam kelas dan beristirahat urung Alvi lakukan begitu kakinya justru membawanya ke koridor kelas sepuluh. Alvi mendengkus kesal saat dirinya malah berdiri tepat di depan kelas Binar.

“Lo ngapain, sih, ke sini? Kelas kita tuh masih jauh. Kenapa lo malah ke kelas 10? Mau turun kelas?” cicit Desta sebelum mengedipkan matanya pada seorang adik kelas yang berjalan di depannya.

Berbeda dengan Afga yang tak banyak komentar, Saka memilih tersenyum tipis. “Lo nggak peka, Ta. Paling juga mau ngapel ke ceweknya.”

Alvi memutar bola matanya malas. Nyaris saja ia berbalik dan meninggalkan kelas Binar. Namun, saat manik matanya tak sengaja melirik Binar yang tengah menelungkupkan wajahnya di atas meja, Alvi justru memasuki kelas itu.

Menyadari bahwa hanya Alvi saja yang memiliki kepentingan di sana, Saka, Desta, dan Afga memilih tidak ikut campur dan saling melirik satu sama lain. “Cabut aja yuk. Gerah gue liat orang pacaran,” celetuk Saka seraya merangkul Desta dan Afga pergi dari sana.

Melihat keberadaan Alvi di sana, seluruh siswa di kelas 10 MIPA 2 sontak terdiam kaku. Alvi menatap mereka satu per satu sebelum menoleh ke arah pintu yang terbuka. Seolah paham dengan gelagat yang ditunjukannya, teman sekelas Binar itu segera beranjak keluar dari kelas.

Alvi melangkah perlahan ke bangku paling belakang. Tempat di mana Binar duduk dan mengasingkan diri dari siswa lain. Dia hanya diam sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.

Beberapa saat kemudian, Alvi menghela napas. Ia berusaha menekan gengsinya lalu bertanya, “Jadi, kenapa?”

Tubuh Binar menegang. Perlahan, ia menegakkan kepalanya dan terkejut menatap Alvi berdiri tepat di depannya. Pandangannya menyapu tiap sudut kelas. Namun, jantung Binar semakin berdegup keras saat tak mendapati seorang pun siswa di kelasnya.

“Mereka udah gue suruh keluar tadi,” ucap Alvi menjawab pertanyaan yang bercokol di kepala Binar.

Gadis itu seketika berdiri. Kepalanya tertunduk dalam. Pandangan Alvi benar-benar membuatnya terintimidasi. Ia yakin bahwa saat ini Alvi sedang menahan emosi. Bagaimana tidak, sejak kemarin Binar terus saja menolak panggilan dari cowok itu.

“Jadi kenapa?”

Binar mendongak. “Kenapa?”

“Kenapa lo nggak bales satu pun panggilan gue? Gue khawatir, Nar. Gue takut lo kenapa-kenapa,” tanya Alvi dengan wajah frustrasi. Cowok itu mendekat kemudian memeluk Binar erat. Meski tak ada pelukan balik, Alvi tak melepaskan Binar sama sekali.

Sudah beberapa menit lamanya mereka berpelukan, Binar pun melepaskan kedua tangan Alvi yang melingkar di tubuhnya. Ia memalingkan pandangan sambil berucap, “Aku minta maaf.”

“Kenapa nggak bales panggilan gue? Lo lagi sibuk kemarin? Atau … atau lo dapat misi lagi tapi nggak ngasih tahu gue?”

Binar bungkam. Pertanyaan Alvi kembali mengingatkannya pada sinar yang keluar dari tubuh Hesti. Terutama tulisan yang ia buat setelah melihat sinar tersebut.

Keterdiaman Binar berhasil membuat Alvi semakin mendesaknya. “Jelasin, Nar. Gue bakal ngerti kok.”

“Aku … sebenarnya kemarin aku sedang memikirkan sesuatu. Jadi, aku nggak terlalu fokus sama ponsel. Lagi pula, aku ada di dapur dan ponselnya aku tinggal di kamar.”

Binar tetap menunduk. Ia tak memiliki sedikit pun keberanian untuk menatap cowok di depannya itu. Sebisa mungkin Binar ingin menyelesaikan misi itu sendiri tanpa bantuan Alvi.

“Kenapa nggak tatap mata gue? Lo lagi bohong, 'kan?” cetus Alvi sembari mengulurkan tangannya dan mengangkat dagu Binar perlahan.

Tanpa sadar Binar meremas roknya. Ia mengigit bibirnya dalam-dalam kemudian mengedarkan pandangan secara liar. “Aku nggak bohong.”

Alvi tersenyum masam. Ia menyugar rambutnya ke belakang setelah berbalik dan berkacak pinggang. Cowok itu mengira bahwa memiliki kekasih akan seindah seperti apa yang dia lihat selama ini dari teman-temannya. Sayangnya, kisah cinta pertama Alvi memang tak seberuntung itu.

“Buat ngasih tahu lo aja, sih. Ya, walaupun gue emang pertama kali pacaran sama cewek yang gue suka. Gini, hubungan itu diawali dari kepercayaan, Nar,” ujar Alvi sembari membelakangi Binar. “Kalau dari awal udah nggak ada kepercayaan, itu hubungan yang nggak sehat namanya.”

Napas Binar tertahan beberapa saat. Jika sebelumnya ia tetap berusaha bersikap seperti biasanya walaupun sudah menjalin hubungan, kini dirinya tak lagi bisa melakukan hal itu. Ucapan sarat kecewa dari Alvi seolah menamparnya dengan telak.

Binar merasa panik tatkala Alvi melesat meninggalkannya. Ia segera berjalan dengan lekas. Hingga sebelum Alvi mencapai pintu, Binar berhasil menarik tangan cowok itu dan menggenggamnya erat-erat.

Ia menyadari satu hal. Bahwa di setiap hal, dirinya memang membutuhkan Alvi. Entah itu untuk membantu, atau menguatkan dirinya. “Maaf. Aku bener-bener minta maaf. Tapi, aku punya alasan kenapa aku nyembunyiin itu dari Kakak. Aku cuma pengen nyelesaiin misi ini sendiri. Tapi itu dulu. Sebelum aku sadar kalau aku emang butuh Kak Alvi.”

“Siapa kali ini?”

“Ehm … Mama.”

Alvi sontak berbalik. Ia segera menyeka setitik air yang lolos dari pelupuk mata Binar. “Ceritain.”

“Sebenarnya ….”

***
Thank you yang sudah baca sampai sinii.
Yang mau krisar boleh di sini.📩
Stay tune terus, yaaa.

Malang, 9 Maret 2021.

-Lutfiatul

-Lutfiatul

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Writing a Destiny (Completed) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang