Happy Reading, Dear!
.
.
.Alvi kini terbaring di ranjang pasien setelah mengalami kecelakaan. Keadaannya tidak begitu parah. Beberapa goresan luka terlihat di lengan dan kakinya. Hanya saja, cowok itu tidak bisa berjalan untuk beberapa waktu ke depan. Hal ini diakibatkan oleh gesekan antara kakinya dengan aspal, sehingga ia diharuskan memakai kruk sebagai alat bantu jalan.
Untung saja tidak ada yang memberitahu kecelakaan ini pada keluarganya. Alih-alih dimarahi, fasilitas yang diberikannya pasti akan diambil sementara sebagai hukuman.
"Sakit, ya, Al?" tanya Saka seraya memakan snack yang ia beli di kantin rumah sakit. Ya, saat ini ruangan VVIP itu tengah dipenuhi oleh beberapa sahabatnya. Afga berdiri di sudut ruangan dengan tatapan datarnya. Sedangkan yang lain memilih duduk lesehan sembari bermain game. Bau obat tercium jelas.
Alvi mendelik. "Ya pasti lah! Lo mau coba, hah?"
Saka meringis sambil menggelengkan kepalanya dengan cepat. Saat sakit, Alvi memang berubah menjadi sosok yang pemarah. Suasana hati cowok itu pasti sudah tak sebagus biasanya.
"Gue udah ngeduga kalau akhirnya bakal kayak gini. Mercy itu licik!" celetuk Desta seraya membayangkan peristiwa beberapa saat yang lalu. Saat itu ia merasa sangat panik, tak ingin kehilangan salah satu sahabat baiknya.
"Nah! Jadi itu alasan dia ngajak balapan di sana. Soalnya dia udah tau seluk beluk arena itu, Al. Itu keuntungan tersendiri buat nyelakain lo," timpal Saka diikuti anggukan kepala dari anggota geng yang lain. Mereka tak lagi fokus dalam game yang saat ini tengah dimainkan bersama. Melainkan bagaimana caranya memberi Mercy pelajaran atas tindakannya pada Alvi.
Alvi menatap mereka satu per satu. Kemudian menyahut mantap, "Gue gak sependapat."
Semua atensi mulai ditujukan pada Alvi. Bagaimana tidak, Alvi bisa saja kehilangan nyawa jika mereka tidak lekas membawanya ke rumah sakit. Namun, dengan entengnya, ia malah berkata bahwa tidak memiliki pendapat yang sama dengan anggota lain.
"Lo gila, ya? Udah jelas-jelas lo hampir mati gara-gara mereka!" dongkol Desta berapi-api.
Alvi mendengkus. Dia menyodorkan tangannya pada Saka yang saat ini berdiri di samping ranjang. Seolah paham bahwa ia ingin duduk, cowok itu menarik tangan Alvi pelan dan membantunya.
"Gue tahu kalau nyawa gue hampir aja melayang. Gue juga makasih banget sama kalian yang udah bantu bawa gue ke sini," ujar Alvi tulus, "Tapi ... gue pikir ini bukan salah Mercy sepenuhnya. Nggak. Ini emang murni bukan kesalahan Mercy. Gue tahu dia nendang motor gue pas balapan. Tapi gue nggak jatuh, 'kan? Gue jatuh pas ada kucing lewat."
Desta yang tidak menerima sahutan Alvi sontak menyela, "Terus? Salah siapa? Gue? Atau Saka? Atau Afga?"
Mercy adalah musuh bebuyutan geng Yumahes. Dalam tiap kesempatan, cowok itu juga yang selalu mencari celah untuk melakukan kecurangan. Lantas, apa maksud Alvi mengatakan jika Mercy tidak bersalah?
"Nggak. Gue nggak bilang gitu, 'kan," ujar Alvi sembari memutar bola mata malas. Sedari tadi, Desta tak berhenti menyela ucapannya. Sahabatnya yang satu itu memang sangat suka sekali bicara.
"Terus, salah siapa?" Afga mulai menengahi perdebatan kedua sahabatnya itu.
Alvi melirik Afga. Seakan bersyukur karena pertanyaan itu telah menghentikan Desta yang kembali berniat membalas ucapannya. Ia memutar ingatannya pada runtutan kejadian sebelum dirinya berada di rumah sakit. "Binar."
"Hah?" Seluruh anggota geng yang saat itu berkumpul serentak berkomentar, bahkan menyangkal jawaban Alvi.
Alvi menghela napas pelan. Ia kembali mengulang jawabannya, "Iya, Binar."
"Lo sakit? Dia cewek pendiem banget! Cuma cerewet pas lagi ngelarang orang aja," ucap Desta.
Alvi meraih air putih yang diletakkan di atas rak sebelah ranjangnya. Ia meminumnya seraya menatap lurus ke depan. Setelah meletakkan gelas itu ke tempat semula, ia berucap, "Lo inget, 'kan? Pas tiba-tiba dia dateng dan bilang kalau gue gak boleh balapan?"
Cowok itu mengedarkan pandangan, mengingatkan teman-temannya pada peristiwa beberapa hari yang lalu. Mereka mengangguk serentak mengiyakan. Bahkan seluruh siswa Yumahes juga mengetahui bagaimana kegigihan Binar dalam menahan Alvi melakukan balapan.
Alvi tersenyum singkat melihat respons sahabatnya. Kemudian, ia kembali melanjutkan penjelasannya. "Terus, sejak itu dia selalu nyegah gue dan bilang gue bakalan celaka kalau ikut balapan."
"Sekarang, kalian paham, 'kan? Kenapa gue nuduh dia? Karena dia nyumpahin gue!"
Desta yang sejak awal selalu menyela ucapan Alvi, kini mulai menyetujuinya. Semua yang dikatakan Binar memang selalu terjadi. Seluruh siswa SMA Yumahes tahu tentang itu. Begitu pula dengan para guru. Karena ucapannyalah, Binar masuk dalam kelompok siswi yang harus dijauhi.
Beberapa saat kemudian, Alvi kembali bertanya, "Bener, 'kan? Kalian udah percaya sama gue?"
Seluruh anggota geng Yumahes yang memenuhi ruangan mulai mengangguk-angguk. Ucapan Alvi memang apa adanya. Mereka berpikir jika saja Binar tak menemui Alvi dan mengatakan bahwa cowok itu akan celaka, tidak akan ada hal buruk yang terjadi seperti sekarang.
"Gue bakal balas dendam. Setelah ini, hidup dia gak bakal tenang."
Saka mendelik. Alvi tidak pernah berhubungan dengan cewek selama ini. Meski sangat diidolakan, seluruh siswi di SMA Yumahes tak pernah berani mendekati cowok itu.
"Lo yakin? Dia cewek!" sahut Desta.
"Kali ini, gue gak peduli gender lagi."
***
Yeyy, thank you buat yang masih baca sampai sini.❤
Yang mau krisar, boleh yuk.📩
Stay tune buat next chapter!Malang, 4 Desember 2020
-Lutfiatul
KAMU SEDANG MEMBACA
Writing a Destiny (Completed) ✅
FantasySebuah ucapan atau tulisan pasti saling berkaitan. Lantas, jika salah satunya terwujud sebagai takdir, apakah ada cara untuk menghentikannya? *** Binar, seorang siswi SMA yang kerap dijauhi oleh seisi sekolah karena sebuah rumor. Tangan yang selalu...