Pengakuan

44 15 28
                                    

Happy Reading, Dear!
.
.
.

Seorang wanita paruh baya yang masuk ke sebuah ruangan dengan angkuh mulai mengambil alih seluruh atensi. Ruangan berukuran sekitar 4 × 4 meter dengan dominasi warna putih itu kini diisi oleh Alvi dan beberapa guru pendamping. Tak lupa Binar yang saat ini terbaring di atas ranjang pasien. Matanya masih terpejam sejak satu jam yang lalu.

Setelah insiden di mana Binar nekat membahayakan diri dengan membantu Bu Arlita, Alvi langsung membawanya ke rumah sakit terdekat. Darah yang keluar dari pelipis gadis itu bahkan sampai melekat di kemejanya.

Ia bernapas lega saat melihat Binar dalam kondisi baik-baik saja. Meski tadi cowok itu sempat berdebat dengan Cakra yang ingin merebut Binar dari bopongannya. Karena terus keras kepala dan tak mau mengalah, akhirnya Cakra sendiri yang membiarkan Alvi pergi membawa Binar.

Alvi mengangguk pelan menyapa Hesti yang saat ini berdiri di depan pintu. Namun, wanita itu justru melengos dan beralih mendekati para guru yang tengah berkumpul di sudut ruangan.

“Dengan Ibu Hesti selaku orang tua dari Binar?” tanya Bu Arlita ramah.

Hesti mengangguk pelan. Beliau kembali melirik Binar sekilas sebelum bertanya, “Apa yang terjadi dengannya? Apa dia telah berulah dan melakukan hal aneh lagi? Huh, maaf. Saya juga tidak habis pikir sampai punya anak seperti itu.”

Alvi mengernyit. Diam-diam, rasa kesal menyusup di hatinya. Amarahnya membuncah begitu melihat tak ada raut khawatir akan kondisi Binar di wajah wanita paruh baya itu.

Seperti Alvi, beberapa guru yang menjenguk Binar pun merasakan hal yang sama. Namun, mereka hanya diam dan menyerahkan segalanya pada Bu Arlita sebagai perwakilan. “Tidak, Bu. Tidak seperti itu. Binar bahkan menjadi siswa yang hebat dengan bertindak seperti pahlawan untuk saya. Sebelumnya, saya ingin mengucapkan terima kasih dan maaf yang sebesar-besarnya.”

“Maaf? Terima kasih? Untuk apa?” Hesti mengernyit dalam.

“Saya bersyukur memiliki siswa seperti Binar. Dia berani mengorbankan nyawanya sendiri demi menolong saya. Ibu tahu? Saya sempat terkejut saat dia naik ke panggung dan mendorong saya. Saat itulah, lampu yang harusnya jatuh menimpa saya, justru menimpa tubuh Binar. Sekali lagi saya pribadi mohon maaf,” terang Bu Arlita dengan mata berkaca-kaca.

Beliau tengah membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi apabila Binar terlambat menyelamatkannya. Apalagi, Bu Arlita memiliki penyakit bawaan yang pastinya akan berpengaruh pada kondisinya nanti.

Hesti hanya mengangguk. Tanpa peduli dengan penjelasan Bu Arlita. Kemudian Hesti mencicit sinis, “Saya justru kecewa. Ibu yang bukan siapa-siapanya dibantu, tapi adiknya sendiri justri disumpahi.”

“Maaf, Bu. Maksudnya?”

“Tidak. Tidak jadi.”

“Ah, ya, baiklah kalau begitu. Kami permisi dulu. Sekolah sudah memberikan izin beberapa hari agar Binar bisa beristirahat. Untuk biaya administrasi, kami sudah mengurusnya. Mohon konfirmasi pada sekolah jika terjadi sesuatu pada Binar. Sekali lagi, atas nama sekolah, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya.”

Setelah Hesti menyalami satu per satu guru hingga mereka berlalu pergi, beliau berbalik dan mendekat ke arah ranjang. Matanya menelisik ke arah Alvi yang balik menatapnya sopan.

“Kamu nggak pulang?”

Alvi menggeleng pelan. Ia kembali mengamati Binar yang tak kunjung membuka mata dan menghilangkan situasi canggung itu. “Saya mau nunggu Binar sampai siuman, Tan.”

“Enak, ya, jadi anak itu. Banyak yang peduli. Coba saja Nada anak saya masih hidup, pasti saya akan sangat bahagia,” cetus Hesti tiba-tiba.

Tak ada sahutan dari Alvi. Cowok itu membungkam mulutnya rapat-rapat. Karena selain enggan memperpanjang percakapan, nama Nada juga terdengar asing di telinganya. Ia ingin bertanya, tetapi rasa sungkan lebih dulu menyergapnya.

Hesti duduk di salah satu kursi setelah meletakkan tasnya di nakas. Pandangannya tertuju ke jendela yang terbuka. Memastikan semilir angin masuk dan menyegarkan udara di dalam ruangan. “Kamu pasti nggak tahu, ya. Anak itu pasti menyembunyikannya dari semua orang. Memang, siapa yang membuka aib diri sendiri? Nggak akan ada pasti. Sebenarnya, dia punya adik dulu. Namanya Nada. Tapi dia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.”

“Meninggal?”

“Ya.”

“Kenapa, Tan?”

“Kenapa lagi kalau bukan karena anak itu. Saya rasa, kamu sudah tahu kemampuan aneh yang dia miliki. Sampai-sampai banyak orang menganggapnya suka menyumpahi orang. Dan, ya, saya percaya dengan hal itu. Terbukti saat dia menyumpahi putri saya Nada hingga meninggal dalam kecelakaan,” tutur Hesti sembari memejamkan matanya beberapa saat.

Ruangan itu kembali disergap sepi. Tak ada suara apa pun, kecuali deru napas yang saling bersahutan. Sampai Hesti kembali membuka netranya kemudian mengambil tas branded berwarna merah miliknya.

Beliau berlalu pergi setelah berujar, “Kamu tahu apa yang paling saya sesali dalam dunia ini? Melahirkan gadis itu.”

Alvi terpekur. Kepalanya masih memutar seluruh pengakuan Hesti yang benar-benar mengejutkannya. Tak ada seorang pun yang akan kuat menghadapi kebencian dari ibunya sendiri. Termasuk Binar. Alvi yakin akan hal itu.

Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Mustahil apabila dirinya tiba-tiba masuk ke permasalahan rumit keluarga Binar dan ikut campur di dalamnya. Namun, Alvi yakin jika gadis itu pasti sangat tertekan selama ini.

Ingatan perlakuan buruknya pada Binar semakin membuat Alvi merasa bersalah. “Maaf, Nar. Gue nggak tahu kehidupan lo seburuk ini.”

“Tapi, gue janji. Setelah ini, gue nggak bakal biarin lo nanggung semuanya sendiri. Gue akan selalu ada buat lo,” putus Alvi yakin sembari mengelus helaian surai Binar sebelum melanjutkan, “gue janji. Sekarang, lo ada di sini. Di hati gue. Menjadi salah satu orang terpenting dalam hidup gue. Karena gue sendiri nggak tahu ini mulai dari kapan, tapi yang pasti … gue sekarang nyaman sama lo.”

***

Thank you yang sudah bacaa.
Yuk baca yuk
Yang mau krisar di sini yep. 📩
Atau boleh didm jg.
Stay tune teruss!

Malang, 28 Januari 2021

-Lutfiatul

-Lutfiatul

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Writing a Destiny (Completed) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang