Bolos

35 3 0
                                    

Happy Reading, Dear!
.
.
.

Banyak hal yang tidak bisa didefinisikan di dunia ini. Salah satunya adalah perasaan. Tak banyak orang yang bisa mengartikan perasaan seseorang dengan begitu mudah. Bahkan pada orang terdekatnya.

Seperti saat ini. Meski tak tahu dengan jelas kekalutan yang dirasakan Binar, Alvi tetap bersamanya. Di saat tidak ada lagi yang peduli pada Binar, Alvi justru mengkhawatirkannya. Jika siswa lain menjauhi gadis itu, maka Alvi akan mendekatinya.

Taman belakang menjadi saksi kepedulian Alvi pada Binar yang sedari tadi tak henti-hentinya menangis. Cowok itu merentangkan kedua tangan dan memeluk Binar dengan penuh kasih sayang.

Penjelasan Binar akan tulisan yang tempo hari telah dibuatnya membuat Alvi terkejut. Jika saja itu terjadi pada orang lain, mungkin misinya akan menjadi lebih mudah. Namun, pada kenyataannya, Hestilah yang menjadi objek misi. Seorang wanita paruh baya yang paling membenci Binar.

Binar melepas pelukan itu sebelum menyeka air mata yang luruh di kedua pipinya. “Aku nggak tahu harus gimana. Sekarang hanya Mama dan Papa yang aku punya. Aku nggak mau kehilangan salah satu dari mereka.”

Alvi menatap kedua manik mata Binar dalam-dalam. Kesedihan gadis itu kini tertular padanya. Ia sendiri sama sekali tidak tahu bagaimana cara menolong Binar kali ini. Mengerahkan tenaga Saka dan Desta pasti hanya berujung sia-sia.

Lagi pula, hubungan Binar dengan Hesti saat ini juga tidak sedang baik-baik saja. Entah apa yang akan dipikirkan wanita paruh baya itu jika mengetahui tulisan yang telah Binar buat. Alvi hanya bisa menyalahkan takdir yang menimpa Binar.

Banyak pertanyaan yang kini semakin bercokol di benak Alvi. Dari berjuta-juta manusia di dunia ini, kenapa harus Binar yang merasakan hal itu? Kenapa kemampuan itu hanya dimiliki Binar? Dan masih banyak lagi pertanyaan kenapa yang kini sama sekali tak dapat ia ketahui alasannya.

Barulah saat ini Alvi memercayai ucapan mamanya dulu. Bahwa ada beberapa hal yang keberadaannya tidak perlu ditanyakan. Mereka ada dengan sendirinya. Waktulah yang menentukan mereka harus ada atau tidak.

Mengetahui Binar masih saja menangis sesenggukan, Alvi menangkup wajah gadis itu dengan kedua tangan kekarnya. “Lo nggak akan kehilangan Mama lo. Gue janji. Kita berusaha bersama-sama, ya?”

Kini, Binar hanya bisa mengangguk dan menyerahkan segalanya pada takdir.

***

“Gue nggak bisa ikut nanti. Suruh Afga atau yang lain aja yang gantiin gue ke sana.”

Tanpa menunggu jawaban dari Saka di seberang, Alvi segera menutup panggilan itu. Pandangannya tertuju ke arah Binar yang terlihat sangat gusar. Kedua mata gadis itu terus saja fokus pada jam dinding berbentuk lingkaran yang menggantung di dekat pintu UKS.

Setelah tangisan gadis itu reda, Alvi segera mengajaknya ke UKS. Cowok itu menarik tangan Binar tanpa izin. Kini, keduanya berakhir di belakang UKS. Ada sebuah tembok yang tidak terlalu tinggi untuk dilewati dengan mudah di sana.

“Kita … beneran mau bolos, Kak?” tanya Binar sembari memandang tembok di depannya dengan gelisah. Lalu beralih pada Alvi yang memasang wajah santainya. Seolah hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah untuk dilakukan.

Alvi mengangguk tanpa berpikir. Ia meraih tangan Binar dan menggenggamnya erat. “Lo mau nyelametin nyokap lo, 'kan? Beberapa jam lagi, nyokap lo udah terjebak di situasi yang cukup berbahaya, Nar. Kalau kita nggak bolos, gimana mau nyelametin nyokap lo itu?”

Binar berusaha menekan kegelisahannya. Ia perlahan mengangguk. Menggunakan sebuah tangga yang tiba-tiba sudah disiapkan Alvi di sana, Binar kini sudah berakhir di luar sekolah bersama cowok itu.

Ia menoleh pada Alvi dengan ragu kemudian bertanya lirih, “Beneran nggak papa, 'kan? Kalau Kak Alvi kena masalah gara-gara aku gimana?”

Alvi menggeleng. Kemudian menarik pergelangan tangan Binar dengan kuat menjauh dari sekolah. “Ikut gue.”

“Ke mana? Katanya mau ke rumah aku, 'kan, tadi?” tanya Binar seraya mengernyitkan dahinya. Meski begitu, ia tetap mengikuti ke mana Alvi membawanya.

Setelah melewati beberapa belokan yang padat penduduk, Alvi menghentikan langkahnya. Binar hendak bertanya, tetapi urung begitu Alvi tampak sibuk menyapukan pandangannya ke sekitar. Kemudian, ia melambaikan tangan pada seseorang yang duduk di atas motor sembari mengenakan helm.

Setelah menyadari keberadaan Alvi, orang tersebut melajukan motornya dan berhenti tepat di depan Alvi. “Nih, Bos!” ucapnya sembari melepas helm dan memberikannya pada Alvi.

“Lo udah lama nunggu?”

“Nggak, sih, Bos. Baru aja sampe, paling cuma enam menit gue nunggu. Pas lo nyuruh gue ke sini, gue langsung tancap gas nih.”

Alvi mengangguk. Ia duduk di atas motornya. “Naik, Nar.”

Binar mengernyit heran. Ia menatap cowok jangkung di depannya lamat-lamat. Penampilannya hampir sama dengan Alvi. Tidak rapi tetapi cukup tampan. Dengan hidung mancung, bibir merah muda, serta matanya yang sedikit sipit.

“Kita ... naik motor dia?” tanya Binar ragu. Ia mengalihkan atensinya pada Alvi yang kini tengah menaikkan salah satu alisnya.

Cowok itu mengangguk sekilas. “Iya. Lo mau naik apa emangnya? Jalan kaki? Ngangkot? Mau dinyiyiri sama ibu-ibu karena kita bolos sekolah?”

“Terus dia gimana, Kak?”

“Duh, Bubos. Santai aja. Gue mah gampang. Cepetan, keburu Pabosnya kebakaran jenggot lihat lo ngomong sama gue,” celetuk cowok itu seraya menahan tawanya.

Berbeda dengan Alvi yang memutar bola matanya malas, Binar justru tersenyum kikuk. Ia naik ke motor sport berwarna hitam itu dibantu dengan Alvi.

“Gue duluan, ya! Hati-hati, jangan ngelayap mulu lo! Nggak bakal ada yang nyari lo kalau sampe lo hilang!” tukas Alvi seraya mengenakan helmnya.

Ucapan Alvi dibalas dengusan pelan oleh cowok itu. “Sialan lo! Udah sana pergi!”

Alvi tergelak sebelum mengacungkan ibu jarinya dan melajukan motornya. Ingatan tentang Hesti kembali memenuhi pikiran Binar. Gadis itu menghela napas kemudian memejamkan matanya diikuti oleh setitik air yang jatuh mengalir di pipi.

Gadis itu menatap wajah Alvi melalui spion. Lalu mendekatkan wajahnya tepat di depan telinga Alvi. “Kita bisa berhasil, 'kan, Kak?”

Alvi mendengarnya. Namun, ia hanya balik menatap Binar penuh arti. Dalam hati, Alvi berharap bahwa keinginan Binar akan terkabul. Ia harus bisa membantu gadis itu dan menyelamatkan Hesti. Ya ... semoga saja.

***

Terima kasih sudah membaca.
Maaf yaa lama nggak update.
Yang mau krisar, boleh di sini, yaa. 📩
Stay tune teruss buat next chapter!

Malang, 19 Maret 2021.

-Lutfiatul

Writing a Destiny (Completed) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang