Happy reading, Dear!
.
.
.Alvi berjalan mendekati Binar dan Cakra yang saat ini terlihat terkejut dengan kehadirannya. Di belakang, ada beberapa anak geng Yumahes yang mengikuti langkah lebarnya. Seisi kantin kembali hening. Tak sabar mendengarkan perdebatan yang terjadi antara dua cowok famous.
Untuk sesaat, Binar tak tahu apa yang harus dilakukannya. Tatapan tajam keluar dari mata kedua cowok yang saat ini berdiri di sisinya. Ia panik. Napasnya tercekat begitu jari-jemari Alvi melingkari pergelangan tangannya.
“Ngapain lo di sini?”
Bisik-bisik terdengar di seluruh penjuru kantin. Beberapa siswa bahkan sudah menyiapkan kamera di ponselnya. Peristiwa tersebut pasti akan menyebar dalam hitungan detik setelah diabadikan dalam bentuk video.
Cakra sempat melihat ketidaknyamanan dalam wajah Binar. Ia tahu bahwa gadis itu sedang berusaha untuk menyembunyikannya. Sesuatu yang buruk akan dilakukan Alvi tanpa berpikir dua kali jika dirinya sampai mendapatkan respons tidak mengenakkan.
“Aku sedang makan tadi. Kakak bisa lihat, 'kan? Ada piring kosong dan gelas itu?” balas Binar pelan. Sedetik kemudian ia memicing saat mendapati cowok itu mengamatinya. Mencari kebohongan yang mungkin dilakukan oleh Binar.
Alvi mengedikkan bahunya. Matanya beralih pada Cakra yang saat ini berdiri tepat di samping Binar. Jari-jemarinya mengepal erat. “Terus, dia ngapain di sini? Nungguin lo makan gitu? Sok jadi pacar yang baik buat ceweknya?”
Binar menggeleng dengan cepat. “Aku nggak ada hubungan apa pun dengan Kak Cakra kalau itu yang ingin Kakak dengar.”
Tak ada yang bisa dilakukan oleh Binar selain menjawab semua pertanyaan Alvi dengan jujur. Jika saja ia tahu akan bertemu dengan Alvi di saat dirinya sedang bersama Cakra, Binar pasti memilih memakan makanannya di dalam kelas. Atau membawanya secara diam-diam ke dalam perpustakaan yang tidak berada dalam pengawasan selama beberapa hari terakhir.
Penggemar dari kedua cowok di sampingnya itu tampak sudah siap untuk mengulitinya hidup-hidup. Banyak sekali gadis yang berusaha mendekati mereka, tetapi tak pernah diubris sama sekali. Berbeda dengan dirinya yang bisa dekat dengan mudah walau tak pernah terbersit di pikirannya untuk mengenal cowok mana pun saat ini.
“Gue nggak peduli, sih, lo mau pacaran atau nggak sama dia. Tapi yang perlu gue ingetin, lo lupa apa tugas lo sekarang? Jadi babu gue! Ngapain malah berduaan sama nih cowok di sini?” Alvi menyedekapkan tangan sebelum netranya melirik Cakra yang berdiri dengan kaku.
Merasa Alvi seperti meremehkan dirinya, Cakra naik pitam. Namun, sebisa mungkin ia mengontrol amarahnya karena kehadiran Binar yang memang tak menyukai kekerasan dalam bentuk apa pun. Cowok itu hanya tidak ingin Binar tidak nyaman selama berada di sisinya. “Ada masalah kalau gue di sini sama dia? Nggak, 'kan?”
Kedua alis Alvi terangkat. Ujung bibirnya berkedut tatkala melihat perbedaan yang ada pada musuh di depannya itu. Sebelum Binar masuk ke dalam kehidupannya, Alvi tahu betul jika Cakra tak akan pernah membalas semua ucapan atau sindirannya. Cowok itu tetap dingin dan membebaskan Alvi bertindak semaunya.
Sedangkan untuk pertama kalinya, Alvi sedikit terkejut dengan respons yang diberikan Cakra. Masih terekam jelas di ingatannya seluruh tingkah laku cowok itu yang kini berubah 360 derajat. Tidak ada lagi Cakra yang acuh tak acuh dengan suasana sekitar. Meski terjebak dalam bahaya, atau menyaksikan bully yang dilakukan senior pada junior, Cakra dulunya tetap tak peduli.
“Bodo amat, ah. Gue nggak peduli ada Cakra atau cowok lain yang deket sama lo. Sekarang, ikut gue ke kelas!” titah Alvi seraya mencekal pergelangan tangan gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Writing a Destiny (Completed) ✅
FantasySebuah ucapan atau tulisan pasti saling berkaitan. Lantas, jika salah satunya terwujud sebagai takdir, apakah ada cara untuk menghentikannya? *** Binar, seorang siswi SMA yang kerap dijauhi oleh seisi sekolah karena sebuah rumor. Tangan yang selalu...