Happy Reading, Dear!
.
.
.“Nar, gue mau ngomong sama lo.”
Binar menoleh ke samping kanan dan mendapati Cakra tengah berdiri sembari menatapnya lamat-lamat. Ia tersenyum singkat. Hampir saja Binar mendekati Cakra, tetapi Alvi lebih dulu menahannya.
Gadis itu mematung sesaat. Kemudian pandangannya beralih pada cengkeraman kuat yang Alvi berikan di pergelangan tangannya. Binar mengernyit seraya mencoba melepaskannya walau tak berpengaruh sama sekali.
“Al. Gue mau ngomong sama Binar. Lo bisa, 'kan, ngelepas tangan dia?” tanya Cakra. Ia berusaha sekeras mungkin untuk menjaga ketenangannya. Ia enggan membuat Binar tidak nyaman apalagi sampai menjauh darinya.
Namun, sepertinya saat ini Alvi memang tidak bisa diajak bekerja sama. Cowok itu malah semakin mempererat cekalannya kemudian membawa Binar ke samping tubuhnya lagi. “Lo lupa kita mau apa sekarang?”
“Tapi—”
“Tuh! Sekarang dia ada di depan ruang tata usaha.”
Binar sontak mengarahkan atensinya pada ruang tata usaha yang ada di ujung koridor. Ia tertegun tatkala tubuh seorang gadis yang berdiri di sana kembali mengeluarkan sinar. Ia mengerjapkan mata untuk menyesuaikan pandangannya.
Tak lama, tangan Binar mulai bergetar lalu beralih meraih pensil di saku. Jari-jemarinya dengan lihai membuka buku yang ia bawa kemudian menulis beberapa paragraf di sana. Alvi dan Cakra memilih menjadi pengamat tanpa melakukan apa pun. Saat itu, seluruh koridor sudah sangat sepi. Padahal, bel pulang berbunyi sekitar 15 menit yang lalu.
Gesekan antara pensil dan kertas yang tak kunjung selesai akhirnya membuat Alvi penasaran. Cowok itu bergegas jongkok lalu menjulurkan kepalanya sedikit ke depan. Ia menggeleng-gelengkan kepala tak percaya setelah mendapati Binar menulis dengan tempo yang sangat cepat. Seolah-olah dia hanya menulis beberapa kalimat abstrak.
Sedetik setelah tangannya berhenti menulis, Binar terjengkang ke belakang dengan napas naik turun tidak teratur. Nyaris saja kepalanya terbentur tiang jika saja Alvi tidak segera menahan tubuh gadis itu. Binar terlihat benar-benar syok.
Mengetahui Binar tidak dalam keadaan baik-baik saja, Cakra membuka resleting tas yang ia sampirkan di bahu. Kemudian mengambil botol minuman dan mengulurkannya pada Binar setelah ia membuka tutupnya. Sebelum Cakra berhasil membantu gadis itu, Alvi dengan segera menahan pergerakannya.
Alvi menarik botol minuman itu dengan paksa kemudian membantu Binar dengan sabar. Bulir-bulir keringat yang muncul di pelipis gadis itu membuat Alvi mengusapnya dengan telaten. Beberapa saat setelahnya, Binar mulai tenang dan bisa menguasai dirinya dengan baik.
Gadis itu menoleh ke arah dua cowok di sampingnya satu per satu. Lalu menyunggingkan senyum manis sebelum berkata, “Terima kasih.”
Alvi mengangguk. Begitu pula dengan Cakra. Lantas, keheningan kembali menyeruak di antara mereka. Karena itulah Binar memilih mengambil bukunya dengan susah payah. Ia memindai satu per satu kata yang telah ia tulis di sana.
Matanya membulat. Ia menggigit bibirnya usai berada di akhir tulisan. Dengan ragu, Binar menyerahkan bukunya pada Alvi yang kini menatapnya penuh keingintahuan.
Tak butuh waktu lama bagi Alvi untuk menyelesaikan bacaannya. Ia mengerjap sesaat. “Ini … beneran lo mau ngebantuin dia?”
Binar mengangguk dengan cepat. Ia berdiri sembari meletakkan pensilnya di kantong kembali. Atensinya tertuju ke ujung koridor. Di mana gadis yang menjadi objeknya saat ini sedang sibuk menyapu lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Writing a Destiny (Completed) ✅
FantasySebuah ucapan atau tulisan pasti saling berkaitan. Lantas, jika salah satunya terwujud sebagai takdir, apakah ada cara untuk menghentikannya? *** Binar, seorang siswi SMA yang kerap dijauhi oleh seisi sekolah karena sebuah rumor. Tangan yang selalu...