Memulai dari Awal?

40 4 0
                                    

Happy Reading, Dear!
.
.
.

Hesti menanti terbukanya pintu ICU dengan tidak sabar. Beliau berjalan ke sana kemari dengan gelisah. Kalimat-kalimat penenang yang diucapkan oleh Alvi tak lagi digubris olehnya.

Suara ketukan sepatu yang beradu dengan lantai rumah sakit membuat keduanya menoleh secara bersamaan. Hesti seketika terisak lebih kencang sembari menghampiri pria paruh baya itu. Kemudian tanpa aba-aba, beliau memeluknya sangat erat.

“Bagaimana? Bagaimana keadaan Binar?” tanya pria itu sembari menenangkan Hesti tanpa menghilangkan kekhawatiran di matanya.

Hesti melepaskan pelukannya pada pria tersebut. Jari-jemarinya mengusap air mata yang mengalir di kedua pipinya dengan perlahan. “Tu ... tubuhnya penuh darah, Pa. Udah dua jam dia di sana, tapi pintu itu belum terbuka juga,” adunya dengan napas terputus-putus.

Alvi menatap interaksi pasangan di depannya itu dengan diam. Sesaat kemudian, ia baru saja memahami apa yang baru saja dilihatnya. Laki-laki paruh baya yang sempat Alvi kira sebagai saudara Hesti ternyata adalah Papa Binar. Meski sempat merasa tidak percaya, Alvi akhirnya lebih yakin saat pria tersebut mengecup puncak kepala Hesti dengan lembut.

“Ini memang salah aku. Sejak dulu, aku tahu kalau Binar bukan penyebab ini semua terjadi. Ini semua memang salahku, Pa! Tapi, karena terlalu kalut, aku justru menyalahkannya begitu saja. Sekarang? Dia yang harus menanggung kesalahanku di masa lalu,” desis Hesti sembari terduduk lemas di salah satu kursi ruang tunggu.

Penampilannya terlihat lebih berantakan dari sebelumnya. Mata sembab dipadukan dengan hidung memerah, serta wajah yang dipenuhi air mata. Tak lupa rambut yang tadinya digelung rapi, kini berubah menjadi terurai.

Papa Binar menggeleng tegas. Menolak pernyataan Hesti dengan berucap, “Tidak, Ma. Ini salahku. Kalau saja aku mematuhi ucapan kamu dengan membantu wanita itu, mungkin saat ini kita akan berbahagia bersama putri kita.”

Ucapan keduanya berhasil membuat Alvi benar-benar bingung. Ia bergegas mendekat dengan rasa penasaran yang semakin membara. Sesaat, cowok itu berdeham sebelum bertanya dengan kerutan-kerutan kecil di dahi, “Maksud Om apa, ya? Wanita siapa yang Om maksud tadi? Dan apa hubungannya dengan Binar?”

Pertanyaan beruntun yang diajukan Alvi tentu saja mengundang tanda tanya di benak pria paruh baya tersebut. Beliau menoleh pada Hesti dan memberi tatapan seolah sedang bertanya 'dia siapa?'

“Alvi. Pacar Binar. Orang yang selama ini membantu Binar di saat kita mengucilkannya.”

Papa Binar mengangguk mengerti. Beliau menghela napasnya pelan sedetik sebelum memulai penjelasan. “Saya tidak tahu siapa namanya, dari mana, atau pun segala sesuatu yang berkaitan dengan wanita itu. Intinya, saya hanya tahu bahwa dia adalah seorang istri dari seseorang yang terlihat misterius.”

“Saat itu kami—saya dan Mamanya Binar—masih sangat muda.  Wanita itu sedang kesakitan hebat karena akan melahirkan. Mama Binar bersikeras untuk membantunya, tetapi saya segera menolaknya dengan tegas. Selain malas, saya takut itu hanya sebuah kepalsuan untuk menjebak kami.”

Alvi memfokuskan pandangannya pada pria paruh baya yang tengah mengatur napasnya sembari berusaha melanjutkan cerita masa lalunya. Ia hanya mendengarnya dengan saksama tanpa menyela sedikit pun.

“Tapi saya salah. Dia memang benar-benar kesakitan hingga meninggal bersama bayi di kandungannya tepat di depan kami. Saya tidak tahu kenapa wanita itu bisa meninggal, tetapi setelah saya cek, dia memang benar-benar meninggal. Saat itulah suaminya datang. Dia memakai pakaian serba hitam dan menatap kami dengan marah.”

Writing a Destiny (Completed) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang