Happy Reading, Dear!
.
.
.“Jadi … lo emang udah pacaran sama dia?”
Alvi menghentikan langkahnya begitu mendengar kalimat itu keluar dari bibir Cakra. Ia berjalan mundur lalu menyembunyikan tubuh kekarnya di balik dinding. Sedang kedua manik matanya fokus menatap Binar yang saat ini tengah diinterogasi oleh Cakra.
Di sana, Binar terpekur. Bibirnya seolah tak bisa bergerak. Ia tak bisa mengatakan apa pun. Berucap jujur mungkin akan membuat Cakra kecewa kepadanya. Gadis itu masih mengingat jelas bahwa Cakra telah berulang kali memintanya untuk menjauh dari Alvi.
Tak mendapat jawaban sama sekali, Cakra kembali mengulangi pertanyaannya, “Jawab, Nar. Lo emang udah pacaran sama Alvi? Tolong jawab, lo nggak perlu takut sama gue. Atau lo terpaksa pacaran sama dia? Iya, 'kan?”
Binar terdiam sesaat. Hal itu membuat Alvi berdecak kesal. Hampir saja ia melangkah mendekat dan berucap dengan keras bahwa Binar tidak mendapat paksaan sama sekali darinya. Namun, cowok itu mengurungkan niatnya begitu Binar mendadak bersuara.
“Iya, aku udah jadian sama Kak Alvi. Tanpa paksaan,” jawab Binar lirih.
Wajah Cakra tampak semakin masam. Ia menghela napas kasar sebelum bertanya, “Kenapa? Karena dia selalu bantuin lo nyelesaiin misi? Gue juga bisa, Nar!”
Karena geram tatkala Binar tak kunjung memberi jawaban dan membuat Cakra berhenti berharap, Alvi memilih mendekat ke arah mereka. Ia bertepuk tangan sesaat sebelum mengalungkan tangannya di bahu Binar.
“Lagi mengakrabkan diri sama calon adik ipar, eh?” sindir Alvi seraya menatap Cakra sinis. Ia menoleh ke arah Binar dan mendapati gadis itu terkejut dengan kehadirannya.
Binar mengerutkan dahinya saat pertanyaan Alvi mulai mengusik pikirannya. “Adik ipar? Maksudnya?”
Alvi terkekeh. Ia mengelus helaian rambut Binar yang terasa sangat lembut di tangannya. Tanpa sadar, tindakannya itu membuat Cakra menggeram di tempatnya. Namun, cowok itu tak bisa melakukan apa pun untuk membuat Alvi menjauhkan diri dari Binar.
“Oh, gue lupa. Lo nggak tahu, 'kan? Sebenarnya … Cakra tuh Kakak gue. Dan, ya, kedatangan dia ke sini tuh mau ngeakrabin diri sama pacar adiknya ini,” terang Alvi sembari tersenyum singkat lalu menoleh pada Cakra, “iya, 'kan?”
Cakra memalingkan wajah. Kedua tangan cowok itu mengepal erat seiring rahangnya yang mengeras. Sebelum ia mengamuk dan melampiaskan amarahnya di depan Binar, Cakra lebih dulu melangkah pergi dengan langkah lebar.
Sepasang kekasih itu hanya melihat kepergian Cakra tanpa berusaha menghentikannya. Barulah ketika cowok itu sudah menghilang dari pandangan, Binar memusatkan atensinya pada Alvi.
“Jadi ... kalian saudara? Kakak dengan Kak Cakra?”
Alvi mengangguk mantap. Ia menyugar surainya perlahan sebelum berucap, “Gue harap dengan lo tahu kenyataan itu, kalian bisa jaga jarak. Lo tahu? Gue ... sedikit terganggu sama kedekatan kalian.”
***
Usai bunyi bel istirahat berbunyi, Binar menyegerakan diri untuk keluar dari kelas. Ia bahkan mempercepat langkah kakinya ke arah perpustakaan tanpa menatap sekeliling. Kini, gadis itu sudah berada di ruangan berpetak yang tak begitu besar. Seorang diri.
Wajar saja, bel istirahat berbunyi masih sekitar empat menit yang lalu. Mereka mungkin lebih memilih menghabiskan waktunya di kantin dan mengisi perut. Berbeda dengan Binar yang justru seolah berusaha menyendiri dan menjauh dari Alvi untuk beberapa saat.
Binar tak ingin terjebak dalam suasana canggung seperti tadi. Setelah Alvi mengungkapkan keberatannya tentang kedekatan gadis itu dengan Cakra, Binar mendadak bungkam. Tak ada yang berniat mengambil alih percakapan.
Itu sebabnya Binar berada di sana. Lagi pula, Binar hanya ingin menjauhkan diri dari seseorang yang berkemungkinan akan menjadi objek dari kemampuannya. Gadis itu masih sangat malas untuk melihat sinar putih itu kembali dan menyebabkannya mau tidak mau harus berurusan dengan Alvi.
“Binar.”
Gadis itu tak salah mendengar begitu sebuah suara berat sedang memanggil namanya. Binar menoleh ke sana kemari. Suara gema yang sangat membuatnya terkejut tadi tidak lagi berbunyi. Ia kembali berniat menelungkupkan kepala di atas meja perpustakaan.
Namun, sebelum niatnya terlaksana, suara itu kembali berbunyi. Itu benar-benar membuatnya sangat terganggu. Binar beranjak berdiri lalu memandang sekitar. Rak per rak sudah ditelusurinya dengan jeli. Sayangnya, ia memang tak menemukan seorang pun di sana.
“Cukup. Kamu tidak perlu gelisah. Ini … Kakek.”
Kedua bola mata Binar seketika membulat. Saat itulah dia ingat tentang seorang pria paruh baya yang menjadi asal muasal dirinya mempunyai kemampuan spesial itu. “Kenapa Kakek baru datang? Sejak lama, Binar pengen ketemu sama Kakek dan bilang kalau Binar udah nggak sanggup menerima kemampuan ini.”
Tak ada balasan sama sekali. Binar mengernyitkan dahinya sebelum kembali memanggil suara itu. “Kek?”
“Ya. Setelah ini, Binar. Setelah ini kamu bisa melupakan segalanya. Semua itu akan menjauhimu. Semua yang berhubungan dengan duniawi, kamu tak akan lagi membawa beban itu. Dan, ya, kamu … akan terbebas.”
Gadis itu terdiam. Lalu mengedarkan pandangannya sambil bertanya, “Aku tidak mengerti, Kek.”
“Setelah ini akan ada saatnya kamu beristirahat. Bukan hanya jiwa, tetapi ragamu juga. Dan saat itu terjadi, ketenangan dan kedamaian … akan menyambutmu.”
Binar lagi-lagi terdiam. Ia terduduk di kursi perpustakaan seolah raganya tak memiliki tenaga. “Istirahat? Jiwa? Raga? Apa … apa maksudnya?”
***
Thank you yang sudah bacaa.
Yang mau krisar boleh disinii.📩
Fyi, cerita ini akan segera mendekati ending.
So, stay tune buat next chapter!Malang, 2 Maret 2021
-Lutfiatul
KAMU SEDANG MEMBACA
Writing a Destiny (Completed) ✅
FantasySebuah ucapan atau tulisan pasti saling berkaitan. Lantas, jika salah satunya terwujud sebagai takdir, apakah ada cara untuk menghentikannya? *** Binar, seorang siswi SMA yang kerap dijauhi oleh seisi sekolah karena sebuah rumor. Tangan yang selalu...