Happy reading, Dear!
.
.
.Sejak keluar dari lapangan indoor, Alvi tak membuka mulutnya sama sekali. Wajahnya terlihat kaku dengan kedua tangan yang terkepal. Ia bahkan tak memedulikan wajah kesal seluruh teman sekelasnya setelah Afga meminta mereka keluar. Alvi memilih duduk di pojok kelas bersama dengan Afga. Matanya menatap lurus ke arah Desta dan Saka yang masih saja merayu beberapa siswi di depan kelas.
Dalam keheningan itu, Afga mengalihkan pandangannya pada Alvi. Ia menaikkan alisnya, seraya bertanya pelan, “Lo kenal sama cewek tadi?”
Alvi terdiam untuk beberapa saat. Kemudian mengangkat bahunya tak acuh. Ia masih saja menutup mulut. Tidak mengungkapkan perasaan kesalnya secara gamblang.
“Tapi gue heran. Kenapa dia tiba-tiba ngomong gitu sama lo. Balapan lo kali ini aja nggak ada yang tahu, 'kan,” timpal Afga sembari mengerutkan keningnya dalam-dalam. Pikirannya terpusat pada interaksi Alvi dan Binar di lapangan indoor tadi.
Melihat sahabatnya gusar, Alvi terkekeh pelan. “Wait-wait. Kenapa lo jadi cerewet gini? Biasanya juga diem doang. Udah nggak lengket lagi tuh mulut lo?”
Afga mendengus sebal. Alvi selalu seperti itu. Padahal, ia sudah berniat baik dengan memperlihatkan kepeduliannya. Tetapi Alvi masih saja menganggap semuanya sebagai lelucon. Tanpa berpikir bahwa yang dianggapnya lelucon itu bisa saja menghancurkan dirinya suatu saat nanti.
Namun, meski begitu Afga tetap mengalah. Ia kembali menutup mulutnya rapat-rapat tanpa berniat membalas sindiran Alvi. Sepasang sahabat itu kembali menatap kedua cowok yang sedang asyik berdiri di depan kelas. Mendebatkan sebuah hal yang tak penting merupakan kebiasaan keduanya.
“Des, ke dalem kelas, yuk. Gue mau ngepoin Alvi tuh. Kayaknya cewek tadi tuh secret admirer-nya Alvi yang pengen menunjukkan keseriusannya. Iya, 'kan? Lo sependapat nggak sama gue?” cetus Saka sembari menaik-naikkan kedua alisnya. Meminta pendapat Desta mengenai gagasan yang baru saja ia berikan.
Lain halnya dengan Saka yang masih menunggu jawaban, Desta justru mengibaskan tangannya. Sambil memperbaiki seragamnya yang kusut, ia mengucapkan salah satu pantunnya. “Kepala pundak bahu, huh dasar sok tahu!”
Mendengar pantun itu, Alvi sontak tergelak. Saka pun turut menatap sahabatnya sebal. Ia masuk ke dalam kelas dan duduk tepat di depan Afga. Cowok itu bersungut-sungut.
“Ga, lo nggak mau belain gue? Lihat tuh temen lo! Nggak ada nyesel-nyeselnya udah gituin gue. Ah, lupain aja deh. Lo pasti bakal ngeledek gue. Al, gue kepo sama tuh cewek tadi. Lo nggak kepo gitu?” tutur Saka terus-menerus. Ia beralih memfokuskan pandangannya ke arah Alvi.
“Sebenernya gue juga kepo. Tapi udahlah, nggak penting juga. Lo jangan bahas dia lagi ah,” balas Alvi sembari mengeluarkan ponselnya. Mengecek beberapa notifikasi pesan, kemudian menggulirkan layar dengan asal. Tak ada yang menarik dari ponsel itu. Namun, matanya membulat tatkala tak sengaja melihat sebuah postingan yang menandainya.
Alvi membuka postingan itu dan memperbesar gambarnya. Di sana terlihat dirinya sedang berdiri di lapangan indoor bersama Binar. Foto itu diposting sepuluh menit yang lalu, tetapi like dan komentarnya sudah mencapai puluhan ribu. Ia memejamkan matanya untuk meredamkan emosi yang sudah memuncak. Cowok itu memang tak menyukai saat-saat di mana dirinya menjadi pusat perhatian.
Namun, tanpa menyadari perubahan raut wajah Alvi, Saka kembali bersuara. “Lo harus kepo dong Al. Kita aja nggak tahu nama dia siapa. Itu juga, kenapa dia bisa tahu kalo lo bakal balapan? Gimana kalo dia nyebarin ke anak-anak lain? Lo tahu sendiri, 'kan, kalo balapan itu privat. Nggak bakal ad—”
“Lo bisa diem gak? Berisik!” potong Alvi sembari menatap Saka tajam. Ia membanting ponselnya di atas meja hingga terjatuh mengenaskan begitu saja.
Saka sontak menutup mulut. Sudah menjadi kebiasaan bahwa kemarahan Alvi harus dihindarinya. Amarah sahabatnya itu mungkin lebih berbahaya daripada dikejar oleh guru BK. Menyadari keheningan yang menyelimuti kedua sahabatnya, Afga berniat menengahi dan bertanya lirih, “Kenapa, Al?”
Alvi menghela napas kasar. Ia mengalihkan atensinya pada ponsel yang baru saja dibantingnya. “Ada akun yang ngefoto gue di indoor sama cewek tadi. Lo tahu, 'kan, kalau gue paling nggak suka sama orang ngumbar privacy kayak gitu.”
Setelah Alvi menyelesaikan ucapannya, Afga sontak mengeluarkan ponsel dan mencari foto itu. Ia mengerutkan dahinya sembari mengamati layar tersebut dengan saksama.
“Dia pasti anak Yumahes juga. Secara, 'kan, nggak ada orang asing yang bisa keluar masuk seenaknya ke sini. Maybe, dia cuma pengen cari sensasi aja.” cetus Afga sembari menutup ponselnya. Ia saling melempar pandangan dengan kedua sahabatnya.
Alvi tersenyum masam. “Pansos maksud lo?”
***
Binar berjalan dan mengabaikan pandangan sinis di sekitarnya. Ia semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Namun, langkahnya terhenti saat melihat beberapa pasang sepatu berada tepat di depannya.
Gadis itu sontak mendongak dan mendapati tiga orang kakak kelas berdiri di depannya dengan wajah angkuh. Binar mencoba melirik nama yang ada di seragam ketiganya satu per satu. “Ada apa, ya, Kak?”
“Jadi, lo cewek yang berani ngedeketin cowok gue?” cetus seorang kakak kelas berambut panjang yang Binar ketahui bernama Serlin. Gadis itu sangat tahu bahwa cewek yang ada di depannya saat ini adalah salah satu mantan Alvi.
Binar tak berniat membalas. Gadis itu tetap berdiri tenang seraya menunggu kakak kelasnya itu meluapkan amarah. Diamnya itulah yang membuat Serlin semakin sebal.
Serlin memperpendek jarak antara dirinya dengan Binar. “Lo denger baik-baik, ya! Gue nggak mau lagi lihat lo ngedeketin Alvi! Dia cowok gue!” ketus Serlin seraya mengacungkan jari telunjuknya.
“Maaf, Kak. Tapi aku nggak berniat ngedeketin Kak Alvi. Tad—”
Serlin mengibaskan tangannya. Ia menatap Binar tajam, kemudian berlalu pergi bersama kedua temannya setelah mengancam, “Gue nggak mau denger alasan apapun dari mulut lo itu! Intinya, jauhi Alvi! Atau kenyamanan lo di sekolah ini bakal jadi kenangan aja! Inget, gue gak bakal bikin lo tenang!”
Binar tersenyum tipis. Kekhawatiranku sudah terjadi. Aku yakin, mulai hari ini semua tidak lagi sama. Memang apa yang kuharapkan setelah bertemu Kak Alvi? Bahagia? Kurasa, senyum saja tak akan pernah kurasakan lagi.
***
Halooo gaess.
Gimana chapter ini?
Yang mau krisar, hayuk. Boleh dm atau komen yaw.
Thank you sudah mampir❤Malang, 18 Oktober 2020
-Lutfiatul
KAMU SEDANG MEMBACA
Writing a Destiny (Completed) ✅
FantasySebuah ucapan atau tulisan pasti saling berkaitan. Lantas, jika salah satunya terwujud sebagai takdir, apakah ada cara untuk menghentikannya? *** Binar, seorang siswi SMA yang kerap dijauhi oleh seisi sekolah karena sebuah rumor. Tangan yang selalu...