Berhenti

51 15 29
                                    

Happy Reading, Dear!
.
.
.

Pandangan Alvi tertuju tepat ke depan kelasnya. Ia duduk termenung di meja paling depan. Menghindari teman-temannya yang saat ini sibuk bergurau dan menceritakan banyak hal.

Ia lebih memilih memikirkan semua tentang Binar. Rasa bersalahnya mendadak menyeruak begitu saja. Ah, dia bahkan tak pernah merasakan hal itu sebelum mengenal Binar!

“Apa gue emang bener-bener kelewatan, ya, waktu itu?” lirih Alvi sambil mengingat perilakunya kemarin lusa sebelum melanjutkan, “gue nggak bermaksud bikin dia sakit hati padahal. Mulut gue emang gini banget, sih.”

Alvi mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. Mencoba membuat nada yang enak didengar olehnya. Berharap hal itu membuatnya berpikir jernih hingga ia bisa melakukan hal yang seharusnya.

Cowok itu menghela napas seraya memangku wajah. “Ini gue yang terlalu kasar atau dia yang emang baperan, ya?”

“Tahu ah. Cakra emang asal ngomong. Gue nggak boleh lemah di hadapan siapapun. Apalagi cewek itu. Gak bakal.”

***

“Ini makanannya. Seperti biasa.”

Alvi mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Matanya menunjukkan keterkejutan tatkala melihat Binar berdiri di samping tubuhnya. Setelah meletakkan senampan makanan di meja, gadis itu memang selalu berdiam diri di sana.

Namun, kali ini berbeda. Jika biasanya Alvi akan selalu memaksa Binar dengan menyeret kedua tangannya ke kantin, sekarang tak lagi seperti itu. Alvi bahkan tidak datang ke kelas Binar dan memerintahkannya membelikan seluruh makanan yang ia inginkan.

Binar sendiri yang tiba-tiba saja datang ke mejanya tanpa disuruh. Wajah gadis itu tak setakut sebelum-sebelumnya. Saat ini justru tampak lebih berani dengan menunjukkan raut dingin dan menutup mulutnya rapat.

Entah kenapa, perubahan itu membuat Alvi merasa gelisah. Ia meletakkan ponselnya di saku seragam sebelum berdiri dan menatap Binar dalam. “Ehm, lo nggak papa?”

Saka dan Desta bersiul saat mengetahui hal tersebut. Berbeda dengan Afga dan Algebra yang mengerutkan kening melihat keduanya karena baru saja kembali dari lapangan outdoor. Hari itu adalah hari bersejarah bagi mereka. Karena untuk pertama kalinya, Alvi menanyakan kabar seorang gadis.

“Nggak. Nggak papa. Kalau aku lagi nggak baik-baik aja, aku nggak akan ada di sini, 'kan?” balas Binar tanpa berpikir panjang.

Sebenarnya, ia tak pernah bersikap dingin pada siapa pun. Bagaimana tidak, dengan sikap baik dan gemar membantunya saja seluruh orang enggan menyukainya, lantas apa yang akan terjadi jika perilakunya buruk? Mungkin ia akan diasingkan.

Alvi terhenyak beberapa saat. Selama ini, seluruh siswa Yumahes selalu menghormatinya. Bahkan tak ada yang berani berjalan mendahului langkah cowok itu. Mereka lebih dulu menyingkir bahkan sebelum disuruh.

Meski ia sudah melarang teman-temannya melakukan tindakan seperti itu, tak ada yang menghiraukannya sama sekali. Namun, Binar justru melakukan hal yang sebaliknya. Hari ini, gadis itu benar-benar berubah 180 derajat.

Seluruh siswa yang tengah menghabiskan waktu istirahat di kantin pun sama terkejutnya. Dengan langkah pelan, beberapa dari mereka memilih keluar dari sana. Kemungkinan bahwa Alvi akan melampiaskan amarah pada orang lain membuat mereka lebih siaga.

“Gue nggak nyuruh lo ke sini tadi. Harusnya lo nggak perlu bawain makanannya,” sahut Alvi ringan. Tak terselip emosi di kalimatnya. Ia bahkan terlihat sangat santai.

Binar menggeleng pelan. Ia menyunggingkan senyuman manis di bibir mungilnya. Baru kali ini gadis itu berani melakukannya. Mungkin siswi yang dulu suka mem-bully dirinya sudah akan menertawakannya saat ini.

Writing a Destiny (Completed) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang