Happy Reading, Dear!
.
.
.“Kak Al ....”
Alvi mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya sebelum beranjak menggenggam tangan Binar. Tangannya terulur membelai rambut Binar dengan penuh kasih sayang.
Binar memejamkan matanya beberapa saat sebelum berucap, “Andai aku tak ada lagi di sisi kalian, tolong jaga Papa dan Mamaku, ya?”
“Tidak, Binar. Apa yang kamu katakan? Kamu harus sembuh, Nak. Maafkan Mama dan Papa. Tapi kamu harus berjuang untuk sembuh. Jangan tinggalkan kami,” sela Hesti sembari menahan isakannya. Wanita paruh baya itu menggeleng-geleng, tak kuasa membayangkan bahwa dirinya akan hidup kesepian tanpa seorang anak.
“Kamu harus sembuh, Nak. Kamu harus ingat, kami sangat menyayangimu. Kamu tidak mau membangun keluarga impianmu bersama kami?” timpal Papa Binar lirih. Dulu, sebelum kematian Nada, beliau begitu memanjakan kedua putrinya. Papa Binar terus berusaha agar menjadi seorang ayah yang bisa dibanggakan oleh putrinya.
Namun, keegoisan yang muncul setelah kematian anak bungsunya justru membuatnya melupakan putri yang lain. Beliau mengusap wajahnya sembari berkata, “Papa menyesal, Binar ....”
Binar kembali menangis. “Binar juga sangat menyayangi kalian. Sangat. Bahkan Binar juga sangat ingin membangun keluarga bahagia bersama kalian. Tapi, tolong berjanji pada Binar, Papa dan Mama harus sehat tanpa Binar, ya?”
Hesti menggeleng kuat. Ia memeluk tubuh Binar erat. Keduanya menangis bersamaan. Saling menyalurkan kesedihan mendalam yang keduanya rasakan.
Berbeda dengan Papa Binar yang tak melepaskan pandangan dari mereka, Alvi justru memalingkan wajahnya. Ia tidak sanggup menatap Binar yang terlihat semakin lemah. Wajah pucatnya kembali sembab. Ia tahu bahwa di wajah itu hanya tersisa kesedihan yang teramat sangat.
Setelah Hesti sedikit melonggarkan pelukannya, Binar menoleh ke arah Alvi dengan susah payah. Jari-jemarinya terangkat memegang pergelangan tangan cowok itu. “Kak Al. Jika Tuhan tak mengizinkan aku ada di sisi kalian, tolong lanjutkan impianku, ya? Tolong bantu semua orang yang membutuhkan. Aku mohon, Kak. Kakak ma—”
“Nggak, Nar. Lo harus bantu gue. Bukannya lo yang bisa melihat kesusahan mereka? Takdir mereka? Jadi kita harus sama-sama bantuin mereka,” potong Alvi sebelum Binar menyelesaikan ucapannya.
Binar menarik napas panjang sembari mengernyit menahan sesak yang ia rasakan di dalam dada. Gadis itu seketika terbatuk-batuk. “Kakak bisa. Aku yakin Kak Alvi bisa. Suatu hari, akan ada petunjuk yang bisa membantu Kak Alvi. Kakak mau, 'kan? Tolong bantu mereka walau tanpa aku, ya? Kakak mau, 'kan, berjanji sama aku?”
Alvi melirik ke arah Hesti dan Papa Binar. Setelah keduanya mengangguk pelan, Alvi terpaksa mengiyakan keinginan Binar. Ia tak sanggup menolak permintaan dari gadis itu.
Seutas senyuman terbit di sudut bibirnya yang pucat. Binar menggigit bibirnya dalam saat rasa sakit kembali menderanya. Beberapa saat kemudian, gadis itu berusaha kembali tersenyum.
Dengan kedua mata yang perlahan menutup, ia berkata lirih, “Terima kasih. Aku ... aku sangat menyayangi kalian.”
Hesti berteriak memanggil nama putrinya itu. Sedangkan Papa Binar memejamkan matanya sembari mengelus kedua bahu sang istri. Mereka larut dalam penyesalan akan masa lalu.
Tak seperti orang tua Binar yang tak kunjung menghentikan tangisannya, Alvi hanya termenung dengan wajah tanpa ekspresi. Tubuhnya lemas seolah tak lagi memiliki tenaga. Cowok itu syok dengan pemandangan di hadapannya.
Binarnya.
Pacarnya.
Gadis yang telah menyelamatkan hidupnya.
Kini telah mengembuskan napas terakhir.
Sekaligus meninggalkan dirinya begitu saja.***
Pemakaman Binar telah dilakukan beberapa menit yang lalu. Beberapa guru dan siswa di sekolah yang datang dan mengucapkan belasungkawa sudah kembali sejak tadi. Pelayat yang turut membantu prosesi pemakaman juga pulang setelah membaca doa untuk mengantar kepergian Binar.
Kini, hanya tersisa kedua orang tua Binar dan Alvi yang terpekur tanpa kata. Mereka bungkam sembari menatap nisan putih bertuliskan nama Binar. Tak ada yang istimewa dari sana. Namun, nama Binar yang tertulis di sana benar-benar memengaruhi kondisi hati mereka.
“Aku tidak menyangka bahwa saat ini mereka sudah meninggalkan kita. Nada, Binar. Mereka pergi. Mereka meninggalkanku tanpa berpikir bahwa aku akan kesepian di masa tua nanti,” celetuk Hesti tanpa ekspresi.
Papa Binar merengkuh tubuh Hesti dengan erat. Seolah tahu bahwa di balik wajah datar itu, di dalamnya tersimpan kesedihan yang begitu besar. Ya, pepatah yang mengatakan bahwa penyesalan akan datang di waktu akhir ternyata memang benar adanya. Kepergian Binar berhasil membuat keduanya kembali terpukul.
“Aku menyesali semua ini, Papa. Kenapa kita harus kehilangan kedua putri kita? Aku memang ibu yang tidak berguna,” tukas Hesti seraya menciumi nisan di hadapannya.
Papa Binar mengembuskan napas pelan. “Kamu harus kuat, Hesti. Kedua putri kecil kita pasti akan terpuruk saat melihatmu sedih seperti ini. Kita harus melanjutkan hidup ini. Kamu pasti tidak akan mau perjuangan Binar untuk menyelamatkan dirimu hingga mengorbankan dirinya sendiri menjadi sia-sia. Kita akan melalui semua ini bersama-sama, ya?”
Tak hanya mereka yang sedih, Alvi pun juga demikian. Cowok itu menghela napas lemah sebelum memejamkan netranya. Suara Hesti yang terdengar pilu seakan menambah keresahannya. Gue bakal jagain mereka, Nar. Orang tua lo. Gue juga bakal bantu semua orang yang membutuhkan. Sesuai keinginan lo. Itu janji gue. Sekarang, lo pasti bahagia, ya? Lo udah nggak sakit, lo udah dapet kasih sayang lagi dari orang tua lo, lo juga udah bisa ketemu sama Nada. Di sini, gue bakal jaga hati buat lo. Yaa, sekarang gue hanya bisa berdoa. Semoga lo tenang di sana ....
***
Tamat.
Terima kasih sudah membaca sampai cerita ini berakhir.
Sampai jumpa di ceritaku lainnya!
Bye!Malang, 11 Mei 2021.
-Lutfiatul
KAMU SEDANG MEMBACA
Writing a Destiny (Completed) ✅
FantasySebuah ucapan atau tulisan pasti saling berkaitan. Lantas, jika salah satunya terwujud sebagai takdir, apakah ada cara untuk menghentikannya? *** Binar, seorang siswi SMA yang kerap dijauhi oleh seisi sekolah karena sebuah rumor. Tangan yang selalu...