Pembelaan Cakra

58 14 19
                                    

Happy Reading, Dear!
.
.
.

Bel istirahat baru saja berbunyi. Bu Nila yang tengah mengajar bahasa Indonesia langsung menutup pembelajarannya. Ia mengumpulkan buku dan peralatan tulisnya yang berada di atas meja guru.

“Baiklah, Anak-anak. Semoga pembelajaran hari ini bermanfaat. Terima kasih atas kerja samanya, selamat siang,” tutur Bu Nila sebelum berlalu keluar dari kelas X Bahasa 2.

Seluruh siswa di dalam kelas itu juga turut merapikan mejanya. Kemudian beberapa dari mereka segera pergi ke kantin untuk mengisi perut. Sedangkan yang lain pergi ke toilet atau perpustakaan.

Begitu pula dengan Binar. Gadis itu sudah berniat  pergi ke perpustakaan untuk menghindari Alvi. Namun, niatnya tak bisa terlaksana tatkala melihat cowok itu sudah berdiri di depan kelas seraya menahan tangannya.

Beberapa siswi tampak melirik ke arah keduanya. Namun, Alvi tak mengindahkan hal tersebut. Ia justru asyik mengamati Binar yang sudah sangat gelisah. “Lo mau kabur, ya?” tuduh Alvi seraya mengangkat salah satu alisnya.

“Nggak, nggak kok. Aku hanya ingin pergi ke kamar mandi,” elak Binar seraya menarik-narik tangannya. Sayang, rontaan itu tak kunjung membuat cengkeraman Alvi terlepas.

Alvi mengangkat bahu tak acuh. Dengan bantuan kruknya, ia berjalan ke arah kantin sambil menarik tangan Binar. Gadis itu terus saja meronta. “Kak, lepasin! Tangan aku sakit.”

“Dan lo pikir gue peduli gitu?”

Balasan Alvi cukup untuk membuat Binar bungkam. Ia memilih diam dan kembali berusaha melepaskan tarikan Alvi. Sayangnya, cowok itu berhasil membawa dirinya ke dalam kantin.

Kedatangan keduanya berhasil menarik perhatian. Hiruk pikuk kantin sontak senyap dalam beberapa saat. Meski begitu, Alvi tetap membawa Binar ke pojok kantin. Tempat di mana seluruh sahabat serta beberapa anggota gengnya berkumpul.

“Wah. Kak Alvi bawa cewek nih,” celetuk Algebra sebelum bersuit keras. Ia beranjak menyingkir dari tempat duduknya dan mempersilakan Binar dan Alvi duduk.

“Balik, Geb. Lo duduk di situ aja,” titah Alvi sembari duduk dan meletakkan kruk miliknya di samping kursi.

Algebra mengernyit. Hampir saja ia menolak tatkala Alvi menatapnya tajam seakan tak mau dibantah. Cowok itu pun kembali duduk dengan berat hati.

Setelah adik kelasnya itu sudah berada di kursinya lagi, Alvi mengembuskan napas. “Lo semua denger, ya. Cewek ini gue bawa ke sini bukan karena gue pengen ngajak dia. Inget. Dia cuma babu gue.”

Genangan air memenuhi pelupuk mata Binar. Kemampuan yang dimilikinya kembali menjadi alasan terbesar dari kesedihan gadis itu. Seakan tersadar, Binar sontak memalingan wajahnya ke arah lain.

“Ehm, lo semua pada mau makan apa? Mumpung gue baik, gue pesenin nih,” cetus Saka memecah keheningan. Ketegangan yang sempat terasa di meja tersebut berangsur menghilang.

Namun, lagi-lagi Alvi merusak suasana. Cowok itu mengangkat tangannya, menahan mereka menyebutkan pesanan. Ia memutar tubuhnya dan menatap Binar tajam.

“Mulai sekarang, dia yang bakal pesenin makanan buat kalian,” putus Alvi seraya menarik tangan Binar dengan kuat agar segera mendekat.

Cowok itu menganggukkan kepala begitu melihat keraguan di wajah teman-temannya. Meski begitu, Alvi tahu bahwa mereka tak menyukai tindakannya saat ini. Membully seorang cewek memang tak pernah dilakukan di gengnya. Namun, ia sudah telanjur sebal dengan Binar dan semua omong kosongnya.

“Oke, gue pesen rambut setan aja deh. Minumnya Es Kelmud.” Suara Desta berhasil membuat Binar menoleh. Gadis itu mengira bahwa salah satu dari mereka akan membelanya. Sayang, ia baru tersadar bahwa dirinya kini sedang berhadapan dengan ketua geng Yumahes. Ekspetasinya pasti tak akan pernah terwujud jika itu mengenai Alvi.

Writing a Destiny (Completed) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang