_37 The Love And The Death

251 54 0
                                    

"Hai teman-teman, syukurlah kalian baik-baik saja."

"Baik-baik saja matamu! Tidak lihat ini kakiku kenapa?!" Seru Hyunjin tak terima dengan perkataan Seungmin.

"Sudah.. sudah.. Hyunjin ini tempramental sekali... maksud Seungmin, kita baik-baik saja, masih hidup."

"Aku bukannya tempramen, dia saja yang memang menyebalkan!"

"Ini kenapa malah bertengkar di sini! Ayo, segera masuk," Sela Jisung menengahi.

Mereka berlima akhirnya masuk ke aula sekolah, di mana karangan bunga berjajar dengan nama murid-murid yang kehilangan nyawa dalam tragedi kemarin.

Semerbak wewangian yang sangat menenangkan itu membuat ruangan terlihat begitu damai, aula yang biasanya menjadi tempat ricuh sorakan murid yang mengikuti suatu kegiatan, kini berubah menjadi tempat yang penuh kesedihan. Apalagi dengan dipajangnya beberapa foto mereka yang sudah tiada, semakin membuat suasana suram.

Seohwa tak menyalahkan siapapun dalam kejadian kemarin, tapi kini ia bukanlah dirinya, membuatnya merasa bersalah.

Ia tak tahu kalau Seungmin memanfaatkan keadaan, Seungmin juga tidak bersalah, tapi apakah harus berterima kasih pada lelaki itu, berkatnya dirinya masih bisa melihat dunia.

Tapi Seungmin seolah menjadikannya sekutu. Tentang perbuatan jahatnya, Seohwa akan segera diikutkan.

Yang semuanya bersangkutan dengan polisi, padahal ayahnya sendiri seorang polisi. Seohwa hanya takut kalau ayah marah dan kecewa. Tiba-tiba matanya memanas, lantas terisak lirih tanpa sepengetahuan teman-temannya, 'Bagaimana ini? Aku harus bagaimana?'

"Eh, kenapa kau menangis?" Jisung terkejut mendapati teman perempuan yang biasanya bersikap kasar, menangis lirih. Seperti bukan Seohwa yang setiap hari mengajaknya berdebat.

"Jangan menangis, teman-teman kita sudah damai di sana," kata Hyunjin menenangkan.

Jiseol pun menghampiri dan memeluknya dari samping. Mereka tidak tahu saja, bukan hal itu yang Seohwa tangisi.

Jantungnya tiba-tiba berdenyut nyeri, merasakan hal aneh itu, Seohwa sontak menatap Seungmin dengan alis tertaut seolah mengatakan, 'Salah apa lagi aku?'

Tapi lelaki itu tidak menggubris.

---

Acara sudah selesai, orang-orang yang datang mulai berhamburan untuk pulang.

Seohwa menunggu jemputan ayah, yang katanya masih di jalan. Melihat perempuan itu berdiri menunduk di gerbang sekolah sendirian, Seungmin pun menghampirinya dengan tatapan marah.

"Mulai sekarang, jangan terlalu dekat dengan orang lain. Kau bukan lagi manusia seutuhnya, jantungmu akan terdengar aneh bagi mereka. Apalagi sampai berpelukan."

"Tapi mereka temanku, jangan membatasi pergaulanku juga. Sudah cukup kau terus menyakiti tubuhku."

"Jangan melunjak! Harusnya kau berterima kasih padaku, karena masih hidup sampai saat ini," geram Seungmin dengan raut kesal.

"Baiklah terima kasih atas bantuannya," Seohwa melenggang pergi, berniat menunggu ayah di tempat lain.

Tapi langkahnya terhenti saat lelaki itu berucap datar, "Kalau kau mati, ayahmu tidak akan bisa melihatmu lagi. Sudah beruntung aku bisa membantu, padahal ini di luar perintah," Seungmin lalu mengembuskan napasnya dengan kasar, "Jangan lupa nanti malam."

---

Sekarang sudah pukul sebelas, namun Seohwa masih di rumah. Berdiri di depan jendela sambil menggigiti jarinya yang padahal belum benar-benar sembuh.

"Aduh, apa aku harus benar-benar pergi ya? Tapi aku takut."

"Jangan takut dan jangan pergi, di rumah saja."

"Tapi nanti Seungmin bisa mencekiku kalau tidak pergi."

"Tapi..."

Rancauannya terhenti saat yang mengusik pikiran muncul secara dadakan di luar Jendela dengan Hoodie dan celana hitam. Aura Seungmin semakin terlihat mencekam, "Kenapa kau masih di sini? aku menunggu di sungai han sudah satu jam."

"A-aku..."

"Keluar Seohwa," ucapannya datar dan memaksa, Seohwa menurut dan langsung melompati jendela kamar.

Seungmin menyeringai kecil, lelaki itu memasangkan kupluk jaket hitam seraya merapikan surai legam Seohwa, "Jangan takut, ini akan menyenangkan."

Ucapannya sukses membuat Seohwa mendongak dan menatap tajam, "Kalau kau manusia, kau disebut psikopat!"

"Sst, jangan keras-keras, ayahmu bisa curiga nanti. Oh ya, jangan lupa kunci pintu kamar dan rekamannya sudah siap kan?"

Seungmin memang menyuruhnya menyiapkan alat perekam suara di kamar Seohwa, kalau sewaktu-waktu ayahnya tiba-tiba ke kamarnya.

"Baiklah, ayo pergi dari sini anak manis," ajaknya, ia memperlakukan Seohwa seperti anak kecil.

Beberapa menit berjalan kaki, keduanya sampai di sungai han. Sungai ini adalah titik utama, sebelum menuju rumah target. Seungmin melirik jamnya, "Hampir tengah malam. Jarak rumah target dari sungai han hanya 1 kilometer, cukup dekat."

"Kita akan berjalan kaki lagi? Itu jauh, tungkaiku sudah lelah," Keluh Seohwa seraya memperlihatkan bagian bawah sepatunya yang mengelupas. Jarak rumahnya ke sungai han memang cukup jauh, tapi mereka nekat berjalan kaki, "Sepatuku sampai rusak."

Seungmin tampak tak tertarik, matanya hanya melirik sinis. Namun tak lama kemudian ia merentangkan kedua tangan, "Aku gendong."

"Aku tidak minta gendong."

"Ya sudah, jalan."

"Tapi kakiku sakit."

"Lalu? Mau naik mobil? Bisa-bisa kita ditangkap saat baru datang," Seungmin dengan tak sabarnya, membungkuk dan membelakangi Seohwa, "Ayo naik, aku sudah baik. Jangan melunjak."

Seohwa hanya bisa mendengus, lalu naik ke punggung lelaki itu.

"Astaga, merepotkan sekali membawamu."

"Itu memang pilihan yang salah, harusnya aku tidak menyangkut pautkanku dalam kegiatan seperti ini."

"Lalu? Membiarkanmu mati?" Tanya Seungmin sinis.

"Biarkan aku hidup dengan jantung bantuanmu, tapi jangan bawa-bawa aku di kegilaan ini."

"Kau pikir hidup itu gratis? Semua ada biayanya."

Dia benar, ini mungkin terdengar seperti balas budi yang tidak diharapkan. Seohwa terdiam dan malah mengeratkan pelukannya di leher Seungmin.

Nyatanya lelaki itu bukan manusia, tapi dilihat dari dekat seperti ini sangat alami layaknya manusia pada umumnya, "Andai kau manusia biasa, aku menyukaimu."

Target terminated

Target Terminated [] SeungminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang