11.

1.4K 345 43
                                    

Jefri baru saja keluar mobil, yang terparkir agak asal, ketika dia menyadari ada seseorang di serambi rumahnya. Jefri pikir tidak asing maka dia sedikit memicing. Ah faforit mama, dengan jilbab pastel dan pandangan yang merunduk ke bawah. Literally Rosean yang sedang main ponsel.

"Ngapain, Ci?" tanya Jefri begitu jarak mereka cukup dekat. Oci seketika mendongak dengan kelabakan bahkan ponselnya hampir meluncur.

"Oh, h-hai" jawab Oci tergagap tapi Jefri cuma menaikkan sebelah alis.

"Lo ngapain di rumah gue malem-malem?"

"Oh ini, tadi gue ditelfon Ibu, disuruh-"

"Lha pas banget, Yan kamu udah pulang" tiba-tiba, selorohan Mama memotong omongan Oci. Membuat, baik Oci dan Jefri, serempak memusatkan atensi ke beliau.

"Assalamualaikum," kata Jefri kemudian. Mengambil tangan Mama lalu menyaliminya.

"Wa'alaikumsalam," jawab Mama sekenanya karena beliau langsung memalingkan diri ke Oci. "Ya udah, Ci, dianter Iyan aja"

"Hah? Ng-nggak usah, Bu. Aku udah-"

"Apa lagi sih, Ma?" Jefri langsung balas bertanya bahkan sebelum Oci menyelesaikan kata-katanya. Pula alisnya berkerut.

"Ini loh, tadi Mama minta tolong Oci anter loyang. Kemarin tuh dipinjam Dek Retno, nah tapi dia tadi kesini naik ojek. Ya masa' pulangnya ngojek juga? Udah malem juga to" jelas Mama tapi Jefri tidak menangkap poinnya. Lagian otaknya sedang terlalu buntu untuk berpikir.

"Terus?"

"Kamu anter bentar lah. Mumpung mobilnya belum masuk garasi kan?"

Mama berujar enteng tapi entahlah, Jefri langsung terganggu mendengarnya. Dia mendadak muak seiring emosi yang kembali menguasai dirinya. Jefri lantas menghela nafas.

"Bensinnya abis," jawab Jefri seadanya. Dia sama sekali tidak peduli itu akan terdengar nggak sopan atau apalah. Jefri benar-benar sedang tidak mood untuk pura-pura baik.

"Iyan," Jefri bisa merasakan Mama mencubit pinggangnya tapi aneh, sama sekali nggak sakit. Justru Jefri makin berani untuk menunjukkan gesture tidak setujunya seraya menatap mata Mama.

"Udah lah, Ma. Oci udah gede. Jam setengah sembilan is totally fine. Iya kan, Ci?"

"H-hah? I-iya Bu. Nggak apa-apa, lagian aku-"

"Iyan, jangan nggak sopan" Oci kembali menelan kata-katanya seiring Mama yang tiba-tiba, slightly, menyentak Jefri.

"Apa?"

"Udah sana anter Oci. Mama kasih ongkos bensin. Ci, nggak apa-apa, dia anaknya emang-"

"Kalo gitu Mama aja yang anter dia" pungkas Jefri. Lantas menyeruak diantara Mama dan Oci sekaligus memotong omongan Mama yang belum selesai.

Oci seketika menahan nafas. Dia literally bingung menempatkan diri pada situasi yang sama sekali tidak disangkanya. Bahkan dia bingung itu situasi apa? Oci bisa melihat rahang Mama menegas dan raut Jefri yang tidak kalah kaku ketika melewatinya. Bahkan laki-laki itu sedikit memicing padanya tadi.

Gue salah apa?

Batin Oci sambil menggigit bibir dalamnya.

"Eh Ci, bentar ya," Mama mengelus lengan Oci dengan, Oci tahu, senyum yang dibuat-buat. Pun dia cuma mengangguk ala kadarnya dan membiarkan Mama menyusul Jefri.

"Kenapa sih, Ya Allah" monolog Oci setelah Mama benar-benar masuk. Seketika dia langsung memainkan ponsel dengan tidak sabaran. Pokoknya Aji harus jemput sekarang.

Sementara Oci clueless yet perplexed di serambi, Mama lantas mencekal lengan Jefri yang baru akan masuk kamar. Beliau bisa melihat wajah puteranya yang datar-datar saja, alih-alih merasa bersalah, dan itu makin membuat emosinya tersulut.

"Kamu apa-apaan sih, Yan? Siapa yang ngajarin nggak sopan gitu?!"

"Ck," Jefri justru mendecak seiring pertanyaan Mama. "Mama kalo mau marah besok aja. Aku capek"

"Loh, heh! Mau kemana kamu?!" Mama gesit meraih tangan Jefri sebelum laki-laki itu masuk kamar.

"Mama belum selesai ngomong ya"

"Tapi aku udah terlalu capek Ma dengerin apapun itu. Please"

"Yan, terserah kamu mau capek atau apa, tapi sikap kamu tadi nggak bisa dibenerin!" cerca Mama dan Jefri cuma bisa memejamkan mata. Literally menarik nafas sebanyak yang dia bisa seraya meredam emosinya. Ingat, Jefri nggak pernah mau membentak Mama pun Jefri berharap Mama-nya nggak memberi peluang hal itu terjadi. Lagi.

"Oke, aku salah, sikap aku nggak baik. Aku minta maaf" pungkas Jefri cepat sambil melihat ke manik Mama. Sebenarnya Jefri bisa melihat amarah di sana but who's care? Dia pun kesal.

"Minta maaf nya ke Oci bukan ke Mama. Ayo, sekarang-"

"Ma!" Jefri lantas membentak Mama seiring beliau menarik tangannya. Seketika beliau melihat manik Jefri nanar. Sekarang ada emosi yang tidak bisa Jefri jelaskan tapi surely, membuatnya sakit hati.

"Ma, Mama sadar nggak sih, Mama bikin aku susah? Semua nasihat Mama, demand Mama, ini itu, Oci, semuanya bikin aku susah. Aku capek, Ma" tutur Jefri. Nadanya melunak tapi matanya terasa memanas pun dadanya sesak.

"Semua orang akhir-akhir ini main keroyokan. Berlagak paling tau, ngasih tau ini itu, nggak boleh gini nggak boleh gitu, padahal yang ngejalanin aku. Literally mereka cuma omong kosong yang nggak ada baik-baiknya karena nyatanya, mereka nggak mikirin gimana perasaan aku. They never try my shoes but boasting aloud about it. Mama juga, Ma!"

Jefri nggak tahu, nggak sadar, atau apapun itu ketika dia ngomong, setetes cairan bening sudah meluncur dari matanya. Dia sama sekali tidak peduli karena yang ada dibenaknya cuma marah, kecewa, marah, kecewa, marah, kecewa lagi, itu aja dicampur jadi satu. Menghasilkan emosi yang bahkan jadi cengeng pun Jefri nggak masalah.

Jefri menarik hidung ketika sadar tangan Mama akan menggapainya. Secepat kilat Jefri menepis seiring kesadarannya yang kembali.

"Aku putus dari Jennie. Hal yang Mama harap kan? Then you will sleep tightly tonight" pungkas Jefri. Dengan nada parau lantas secepat mungkin menutup pintu. Menyisakan Mama di depan kamar yang bahkan lebih menangis dari Jefri.



[]

raison d'être ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang