10.

1.6K 341 41
                                    


"Oke, makasih ya Yang" seloroh Jennie seiring Jefri menghentikan mobil di depan rumah pagar putih. Rumah Jennie pun Jefri cuma mengangguk seraya tersenyum. Manis bahkan lesung pipinya sampai kelihatan.

"Sama-sama" kata Jefri sambil mengacak ringan rambut Jennie. "Padahal kalo kamu mau, kita bisa puter-puter sebentar. Aku kangen" tambah Jefri. Sedikit banyak terdengar menyendu.

"Next time ya," dan Jefri cuma mengulum senyum seiring Jennie menjawab begitu.

"Ya udah sana, kamu balik. Katanya besok mau nemenin editor kan?"

"Iya, abis ini. Aku liat kamu masuk dulu" kata Jefri yang justru dibalas judgmental sama Jennie. Tahu? She's scrunched her nose but slanted her eyes tho. Julid deh pokoknya tapi Jefri, lagi-lagi cuma mengulum senyum.

"Yang, besok aku jemput lagi ya? Sekalian ke Cikini makan bubur. Lagi pengen"

"Dih," Jennie mengernyit. "Udah kayak orang ngidam aja kamu" cibirnya seiring demand Jefri tadi. "Tapi maaf banget Yang, besok nggak bisa..." tambah Jennie akhirnya. Nadanya terdengar bersalah pun mencukupkan Jefri untuk, kesekian kalinya dalam minggu ini, tertolak. Even he isn't surprised anymore. Nggak ada kernyitan kayak cfd-an kemarin. Pun dari situ, akhirnya Jefri bisa bulat berkesimpulan kalau ada yang tidak beres dengan Jennie. Perempuan itu menghindarinya.

"Emang kamu besok mau kemana?" tanya Jefri. Dia merasa perlu tahu.

Selama ini, karena prasangka soal Jennie menghindarinya itu cuma prasangka, Jefri nggak pernah menuntut penjelasan apa-apa. Jefri pikir, it's okay kalau Jennie butuh waktu sendiri. Aslinya, dia pun begitu. Ada banyak hal dan perkara yang nggak bisa dibagi ke sembarang orang. Everyone needs time. Jefri paham dengan konsep itu maka dia nggak pernah bertanya apapun. Tapi lama-lama, hal itu jadi ganggu seiring semua hal sedang nggak berjalan bagus buat Jefri. Everything is overlapping until he's buried in. Pun tadi, waktu Jefri bilang kangen, dia nggak bohong apalagi sekedar gombal. Nyatanya dia memang kangen Jennie. She's much away and it feels not good.

"Ke Kak Clarine. Dia ngadain semacam pesta lajang gitu deh" jawab Jennie. Tenang seraya dia melepas seat belt.

"Pesta lajangnya di hari kerja?" tanya Jefri. Sebenarnya bukan pertanyaan atau penyangsian karena Jefri tahu Jennie bohong. Jefri kira, nggak mungkin orang seperfeksionis Clarine menyetujui hal reckless kayak gitu.

"Iya. Nggak tau tuh," jawab Jennie dengan kedikkan. "Padahal aku juga males sih, Yang. Tapi karena aku adik yang baik, yah... mau nggak mau" tambahnya sambil nyengir. Lucu sih, tipikal gummy smile-nya jadi kelihatan tapi itu nggak cukup menarik Jefri untuk ikut tersenyum.

"Ya udah, kalo gitu berangkatnya aja aku jemput ya?"

"Hah? Nggak usah! Aku sekarang nebeng Joni. Tuh tetangga aku" kilah Jennie seraya menunjuk rumah di depannya dengan dagu. Pun alis Jefri jadi bertaut.

"Joni? Kenapa harus nebeng Joni kalo aku bisa nganter?"

"Soalnya searah. Lagian kamu lagi hectic kan? TV tujuh kan mau ulang tahun"

"Iya, tapi-" Jefri menoleh dan mendapati rupa Jennie disana. Masih lucu seperti biasa bahkan setelah pulang kerja pun, pipinya masih menggemaskan. Apalagi jepit pita yang menahan poninya, Jefri selalu suka itu. She's too cute to being scolded.

"Anything wrong?" tanya Jennie ketika Jefri, alih-alih melanjutkan bicara, justru meraup wajahnya kasar. Pun Jennie makin bingung ketika, tiba-tiba, Jefri jadi menatapnya.

"You"

"H-hm?" Jennie mendadak tergagap. "Maksudnya?"

"Kamu, Jen. You are that wrong"

raison d'être ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang