18.

1.7K 327 61
                                    

✿ wholeheartedly presented to Park Chaeyoung. All loves send to you.






"Ya elah, Bit-"

"Apa lo bilang?? Coba ngomong lagi!"

"M-maksud gue, Mbak," Jefri buru-buru meralat seiring sorot Tsabita yang kalau di-alay in udah mengeluarkan laser merah. "Mbak Tsabita"

"Nggak sopan banget lo manggil gue Bat Bit Bat Bit, inget ya gue itu udah mak-"

"Iya ngerti udah makan nasi tiga taun lebih dulu dari gue," potong Jefri cepat tapi raut gupuhnya masih kelihatan. "Makanya Mbak, please, lo pergi sama gue. Gue kalo nggak ada lo ntar diceramahin mulu sama Wak Ami" tambah Jefri seraya memelas tapi Tsabita cuma melirik adiknya tanpa minat.

Jadi ini soal kerabat keluarga Jefri yang akan melangsungkan pernikahan. Anak bungsu dari kakak sepupunya Ayah akan menikah beberapa hari lagi dan, sebagai anak laki-laki tertua, Jefri kayak harus banget datang. Mandat langsung dari Mama pun itu seperti tanggungjawab tidak langsung.

Sejak kematian Ayah, meski anak kedua, Jefri adalah anak laki-laki pertama. Jadi menurutnya, semua tanggungjawab Ayah sudah sewajarnya bergeser ke dia termasuk perkara menghadiri acara keluarga. Masalahnya, baik itu Jefri, Tsabita, Jeno atau Jinny, nggak terlalu dekat dengan keluarga Ayah. Walaupun ada beberapa yang di Jakarta, seperti Wak Ami, tapi ketemunya bisa dihitung jari.

Pula dari kecil, Jefri dan saudara-saudaranya lebih sering liburan ke Solo, ke tempat keluarga Mama. Makanya kalau ada acara keluarga semacam itu, Jefri jadi rikuh sendiri. Tahukan rasanya, berkumpul dengan orang-orang yang sebenarnya nggak akrab? Apalagi Wak-nya itu, Wak Ami, bawelnya minta ampun. Udah bawel, tukang kritik pula. Hhhh, makanya Jefri butuh Tsabita yang secara alami lebih pintar ngeles dari dia. Masalahnya, Tsabita mendadak nggak bisa nemenin seiring ada apalah yang katanya penting.

"Timbang diceramahin doang. Masuk kuping kiri, keluar kuping kanan. Kan biasanya lo gitu kalo dikasih tau?" balas Tsabita sambil lalu. Sambil memencet asal remote TV.

"Nyindir gue lo?"

"Lo kesindir?" Tsabita lagi-lagi cuma melirik Jefri dari ekor mata sementara adiknya itu mendecak keras. Setelahnya Jefri menyandarkan kepala ke sisi sofa. Rautnya kelihatan kesal tapi Tsabita cuma mengedikkan bahu. Nggak peduli deh toh tiap hari Jefri gelagatnya begitu.

"Mbak, gue tuh abis putus, tar kalo gue ditanyain kapan nikah, apa nggak menganga nih luka hati gue?" kata Jefri tapi matanya melihat ke langit-langit. Literally belum berubah posisi.

"Alay" balas Tsabita. Ringkas bahkan nggak menoleh ke Jefri. Bikin Jefri mengerlingi kakaknya sinis.

Memang begitu hubungan Tsabita dan Jefri. Jefri yang diam-diam rewel plus alay dan Tsabita yang peduli tapi sassy. Nggak heran isinya cuma sinis-sinisan.

"Atau lo ajak Oci aja, Yan. Kata Mama lo sekarang akrab banget tuh sama Oci" seloroh Tsabita tiba-tiba yang justru didecaki oleh Jefri.

"Ngawur"

"Apanya yang ngawur sih?" Tsabita melirik Jefri. "Heh!" tambahnya, sengaja menyikut lengan Jefri seiring adiknya itu nggak juga menjawab.

"Apaan sih, Mbak? Jangan rese deh lo"

"Rese apa sih? Gue tuh ngasih solusi yang solutif"

"Solutif pret," dengus Jefri seraya membuang muka. "Gue nggak mungkin ngajak Oci. Tar malah dikira yang aneh-aneh sama Wak Ami. Makin diceramahin yang ada"

"Ya udah, aminin aja"

"Apanya yang diaminin sih???" tiba-tiba Jefri emosi. Alisnya mendadak menyatu seiring dahinya juga berkerut.

raison d'être ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang