Rosé solo 선물 :"
Jefri menyandarkan badan ke belakang kursi sementara matanya menengadah menatap langit-langit. Pula, tidak sampai satu detik, Jefri membuang nafas. Jengah dan panjang.
"We're cool, right?"
"I guess"
"Then, can we still be... friends..?"
Percakapan sepuluh menit yang lalu itu membayangi Jefri. Lelaki itu pikir, setelah bersikap dewasa layaknya mengalah, dia akan tenang. Nyatanya pret, Jefri cuma grown up man yang man-nya manusia, bukan laki-laki dewasa seiring dia, bahkan, masih menimbang-nimbang keputusan yang literally sudah dia lakukan. But, all men do that kind of thing kan? Iya, something seperti ragu-ragu, yang literally mempertanyakan diri sendiri, did I do the right thing? Apalagi kalau itu menyangkut masalah krusial. Dalam case Jefri: Jennie.
Kemarin Jefri menghubungi Jennie dengan concern berlebihan. Menawarkan pertemuan yang bermuara di sepuluh menit yang lalu. Jefri pikir, minggu-minggu terakhir kemarin sudah banyak yang terjadi pula membuatnya sadar kalau hidupnya, nggak sepenuhnya miliknya. Ada Mama, ada Tsabita, Jeno, Jinny, bahkan alm. Ayah.
Jefri hampir saja egois seiring orang-orang selalu bilang you only live once, do what you want. Nyatanya konsep hidup nggak mutlak begitu seiring kecelakaan kemarin menyadarakan Jefri. Literally ada orang-orang yang akan selalu ada di tempat yang sama ketika Jefri pergi. Tidak benar-benar berpindah atau kemana-mana sampai ketika Jefri kenapa-napa lalu jatuh, lelah lalu menengok, atau kesasar lalu ingin kembali, orang-orang ini yang pertama Jefri lihat sampai dia sadar dan sebenar-benarnya berkata ke dirinya sendiri: I am home. Maka, untuk eksistens-eksistensi yang sehangat dan sekokoh rumah itu, mana mungkin Jefri mengabaikan? Pula sama halnya dengan dirinya yang punya rumah, Jennie juga besar dengan rumah. Jadi makin tidak bisa Jefri untuk egois untuk memepertahankan mereka, dia dan Jennie. Sayangnya, seiring manusia adalah makhluk yang konsisten dalam inkonsistensi, Jefri jadi ragu dengan pemahamannya itu setelah melihat rupa Jennie lagi.
Perempuan itu masih sama dengan yang hampir seminggu lalu Jefri ingat. Masih dengan rambut ebony dan mata kucingnya. Pula Jefri makin ragu ketika mata kucing, yang biasanya julid itu, berubah membola seiring perempuan itu menemui balutan gips di tangannya. Literally membola dan panik, Jefri jadi, low-key, merasa tersanjung karena Jennie khawatir.
"Biasa cowok,"
"Hah? Nggak lucu Ya- eh Jef..."
Pun panggilan yang hampir keceplosan itu, rasanya Jefri akan beneran mengurungkan niat andai Jennie benar-benar keceplosan.
"Jen, last time you said, we need a break. Kamu butuh waktu buat mikir, juga aku. Literally semuanya overlapping kan?" kata Jefri. Membuka apa yang dia maksud seiring mengingat muka Mama.
Muka Mama dan perhatian beliau saat merawatnya, maksud tidak muluk-muluk beliau yang sering Jefri salahartikan pun berlebihan, literally Mama yang reckless yet sincere bisa mengingatkan Jefri ke niatan awalnya lagi. Pula Oci. It sounds weird ketika, nyatanya, Jefri mengingat Oci dimomen krusialnya begini. But it is what it is, Oci berandil buat Jefri. Setidaknya dari empat hari yang lalu.
"Aku udah banyak mikir akhir-akhir ini. I literally take bunch of times buat mikir dan turn out, bener kata kamu. Aku utopis, cuma ngebayangin dan ngejanjiin yang bagus-bagus tapi nggak liat keadaan. Dan kamu juga lebih bener soal kamu yang nggak deserve hal-hal kayak gitu... you spit fact Jen, perbedaan kita dan keenggakjelasan aku" Jefri menjeda lantas menelisik rupa Jennie. She stays calm. As always but actually it's sike.
KAMU SEDANG MEMBACA
raison d'être ✓
General Fictionlovers don't finally meet somewhere. they're in each other all along -rumi [jaehyun au]