4.

1.8K 405 46
                                    

Jennie mengetuk-ngetuk pinggiran kaca mobil sementara Jefrian, selaku yang dibalik kemudi, justru manggut-manggut mengikuti lagu dari audio. Udah mirip abang gocar sama penumpangnya. Tinggal minta bintang lima aja ntar.

"Yang, ntar aku ngapain?" tanya Jennie, akhirnya berinisiatif membuka obrolan. Pun sebenarnya dari tadi Jennie mikir. Entahlah tapi undangan Mama Jefri kemarin bikin dia kepikiran.

"Yaelah, emang biasanya kamu kalo di pengajian ngapain, Yang? Kan udah sering" jawab Jefri. Sedikit acuh tak acuh karena nyatanya dia masih nge-groove mengikuti lagu phony ppl alih-alih memberi atensi ke ceweknya. Diam-diam Jennie menghela nafas.

Jadi, kemarin Mama Jefri telfon, memberi kabar kalau akhir pekan ada pengajian seribu hari Ayah Jefri. Kata Jefri, pengajian seribu hari bisa dibilang pengajian terakhir yang diselenggarakan untuk memperingati juga mendoakan almarhum. Selebihnya, nanti, kalau mau mendoakan atau memperingati, nggak perlu mengadakan pengajian lagi. Kalau Jennie menyimpulkan, itu seperti pengajian formal terkahir setelah rangkaian pengajian tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan lain-lain dan lain-lain yang Jennie nggak begitu ingat. Makanya, atas dasar itu, Jennie merasa perlu memenuhi undangannya. Toh selama rangakaian pengajian itu, dia selalu hadir. Makanya, agaknya, pertanyaan Jennie yang 'Yang nanti aku ngapain' tadi terdengar nonsense maka Jefri pun jawabnya sambil lalu. Padahal, Jennie beneran uneasy.

Entahlah, mungkin karena sering memikirkan perbedaan mereka, Jennie jadi menganggap apapun diantara mereka itu sulit. Apapun itu jadi kelihatan seperti pembeda, nggak sama, dan makin menunjukkan kalau mereka berbeda. Pun sebenarnya aneh karena alih-alih thinker, Jennie sebenarnya tipe yang chill dan ngalir. Dia nggak suka membebani diri dengan pikiran-pikiran aneh karena dia tahu itu hanya akan menyiksa diri.

Hidup udah berat terus kenapa gue nambahin bebannya? Gitu prinsipnya.

Tapi, balik lagi ke awal, perbedaan mereka terlalu nyata yang se-chill chill-nya Jennie, dia nggak bisa chilling dengan hal itu. Apalagi Jennie seorang perempuan yang tentu saja, pernikahan menjadi hal yang krusial. Jennie memang tidak memburu-buru pernikahan, tapi bila boleh jujur, Jennie tidak mau mencari lagi. Jefri itu mencukupkan dan pada sosok yang seperti itu, Jennie tidak mungkin rela melepaskan.

Calm down, Jen. Bener kata Jefri, lo udah sering dateng ke pengajian. What's exactly the matter tho batin Jennie seiring lagu phony ppl tinggal sisa-sisa.

[]

"Cilukba"

"Ehehehehehe"

Kikikkan Elea terdengar sampai dapur. Bikin Jennie senyum lalu, slightly, menoleh ke mereka.

Pasti digodain Jefri

Batin Jennie karena siapa lagi? Cuma Jefri yang bercandaannya masih pakai cilukba.

"Elea sekarang ketawanya jadi keras banget ya, Bu" kata Jennie kepada wanita lebih dari paruh baya di depannya. Sementara Jefrian main dengan keponakan lucunya, Jennie dan Mama sibuk membungkus risol di dapur.

"Iya lho. Kemarin tuh teriak sampe depan rumah denger" tanggap Mama Jefri. Selalu bersemangat kalau ngomongin cucu pertamanya, Elea.

"Berarti udah tambah pinter, Bu"

"Iya," Mama Jefri mengulum tawa. "Kayak Bita dulu tuh gitu. Kecilnya hobi teriak-teriak, bawel" tambah beliau dan Jennie tertawa. Mendadak ingat ekspresi judging so hard-nya Jefri waktu dia memuji Mbak Tsabita keren.

"Keren dari konoha? Nggak tau aja kamu kalo dia ngomel, beuh, udah sepanjang malaikat presentasi dosa-dosa manusia"

"Kalo Jefri cengeng ya, Bu?" tambah Jennie. Mendadak penasaran dengan cerita Jefri.

"Woh, nangisan. Gampang banget nangis. Salah potong rambut aja nangis. Ngambek, nggak mau sekolah" cerita Mama dan Jennie makin tertarik untuk mendengarkan. Bukan karena bertopik Jefri tapi basically, Jennie menyukai cerita-cerita Mama.

Mama Jefri ditinggal Ayah di usia memasuki senjanya. Menurut Jennie, itu tentu terasa lebih berat karena, apa yang lebih membuat kesepian daripada berpisah dengan teman yang hampir seumur hidup membersamai? Baik buruknya, tangis tawanya, pintar bodohnya, semua terlanjur dibagi berdua lalu tiba-tiba harus ditanggung sendiri. Canggung dan kesepian, tentu saja, tapi Mama Jefri tidak terasa seperti itu. Justru, beliau itu hangat. Sedikit mengomel, tidak  ketus, dan berteman dengan siapa saja.

Tiap lebaran Mama akan dengan senang hati mengundang Jennie makan opor. Tiap natal, Mama juga akan senang hati mengirim kue-kue kering yang Jennie berani jamin, bahkan chef Juna akan ketagihan. Mama itu hangat makanya Jefri pun hangat. Dan pada kehangatan yang seperti itu bagaimana mungkin Jennie tidak jatuh cinta? Satu dari beberapa alasan yang membuat Jennie uneasy hari ini. Jennie takut terlalu terbiasa dengan hangatnya sampai kelak, ketika dia terbakar, dia tidak sadar dan justru merelakan diri. Tidak mau, Jennie tidak mau merelakan diri dan jatuh sendiri.

Di dunia ini, nggak ada yang bener-bener bisa berteman dengan seseorang kecuali orang itu sendiri. So don't lose your value, don't lose your very own self.

Kata-kata yang selalu Jennie rapalkan pada dirinya sendiri. Yes, she's always that aware.

"Sekarang juga masih suka ngambek tau, Bu" adu Jennie. Menyambung obrolan mereka yang masih ngomongin Jefri.

"Loh, Oci?! Ini Oci?? Kapan pulang Ciii?!"

Mama baru mau menanggapi Jennie waktu pekikan itu terdengar dari ruang tengah. Suara Mbak Bita, Jennie tahu.

"Oci??" bisik Mama. Seperti monolog karena fokusnya jadi beralih ke pintu dapur.

"Ma! Oci dateng nih nganterin kue!" teriak Mbak Bita lagi namun sebelum Mama sempat menjawab, sosok perempuan berjilbab menyembul dari pintu. Menampilkan cengiran lebar sambil tangannya menenteng beberapa tumpuk kotak yang diikat jadi satu.

"Loh?!" Mama langsung menaikkan alis begitu perempuan itu mengucapakan salam. Pun beliau langsung berdiri seraya menghampirinya.

"Iyaaaaannn!! Bantuin bawa kue!" dan teriakan Mbak Bita terdengar lagi. Disusul kikikkan Elea yang mendadak senyap, digantikan suara rendah Jefri yang entah sedang ngomong apa ke Mbak Bita. Dan diantara kejadian yang tumpang tindih itu, Jennie masih terbengong dengan risol ditangannya.

"Ibuuu" kata perempuan berjilbab itu kemudian. Terlampau ceria sambil meraih tangan Mama, membawanya ke dahinya. Salim.

"Loh kok kamu yang nganter??" tanggap Mama, masih dengan raut terkejutnya.

"Iya. Sebenarnya mau Mama yang antar, tapi Mama masih nyelesain pesenan tetangga. Nanti Mama nyusul, Bu" jawab perempuan yang dipanggil Oci itu. Senyumnya dari tadi belum luntur. Sepertinya tipikal yang gampang senyum pun senyumnya terlihat menyenangkan.

"Ealah, cah ayu, udah makan belum? Nanti ikut pengajian ya?" kata Mama sambil membawa Oci menuju meja yang  Jennie masih asik membungkus risol di sana.

"Siap. Nanti aku ikut," jawab Oci masih dengan senyumnya. Tuh kan, tipe yang sumeh. "Ibu lagi apa, eh-" Oci mendadak menganggukkan kepala seiring menjumpai presensi Jennie disana.

"Ini lagi bungkus risoles. Dibantu sama Jennie," jawab Ibu, merujuk pada Jennie yang sekarang bergantian mengangguk kaku ke Oci.

"Jen, ini Oci. Dulu dia tetangganya Ibu. Rumahnya di seberang situ tuh" tambah Ibu. Memperkenalkan Oci yang lagi-lagi disambut senyum sumringahnya.

"Oci,"

"Jennie,"

"Ma, ini di- Loh... O-oci?"

Bahkan Jennie belum selesai menjabat tangan Oci ketika Jefri menyeruak diantara mereka. Membuat fokus keduanya sepenuhnya beralih ke dia. Berdiri diambang pintu, bersama tumpukan kotak, Elea, dan straight face-nya.

[]


Aku selalu hampir lupa mau nulis ini, makasih karena udah mampir dan baca ya :" I truly forever grateful.

raison d'être ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang