14

1.6K 358 84
                                    

Jefri memandang balutan gips pada pergelangan tangan kirinya. Yang kemarin benar-benar sial. Bahkan Jefri sampai nggak tahu harus mengatai dirinya apalagi selain bego dan tolol. Pula dia merutuk, harusnya kemarin dia minum kopi atau minimal cuci muka dulu sebelum balik. Atau yang paling bener, harusnya dia nggak overthinking sembarangan. Literally nggak di jalan juga. Nah giliran nasi udah jadi bubur gitu, Jefri sendiri yang susah. Udah susah, rugi, repot pula.

Padahal Jefri masih sepatutnya bersyukur. Setidaknya yang patah cuma jari-jarinya saja, setidaknya motornya nggak cukup ringsek mengingat yang dia tabrak itu tiang. Pula setidaknya bersyukur masih hidup, masih ganteng mukanya nggak kenapa-napa. No offense tapi tabiat rata-rata manusia tuh begitu, yang fokus dilihat cuma bagian buruknya aja.

"Yan," pintu kamar Jefri terbuka seiring Mama masuk membawa nampan. Pula Jefri melirik sebelum otomatis melihat jam di nakas. Ah jam satu, waktunya makan siang.

"Makan dulu, abis itu sholat" kata Mama sambil meletakkan nampan di nakas. "Nanti wudhu-nya Mama bantu biar gips-nya nggak basah kayak kemarin" tambah Mama seraya sibuk mengaduk nasi dengan sayur sementara Jefri, sejak Mamanya masuk tadi, batinnya sudah berhenti menggerutu. Literally Jefri hanya diam sambil mengangguk kaku.

"Bismillah dulu"

Kata Mama lantas membuat gesture membuka mulut seiring beliau menyorongkan sendok ke depan Jefri. Pula, seperti adegan yang dilatih, Jefri seketika membuka mulut dan menerima suapan itu. Iya, Jefri disuapin. Pun meski disuapi, nyatanya Jefri enggan melihat Mama. Mulutnya memang mengunyah tapi matanya kemana-mana. Literally malu. Dia sudah dua puluh lima tapi masih bisa-bisanya disuapi. Jangan diketawain.

"Ya Allah Iyan, kamu kenapa?!" heboh Mama kala itu, waktu menemui Jefri duduk di ranjang periksa. Literally setelah kecelakaan, yang sebenarnya Jefri meleng dan nabrak tiang, Jefri dibawa ke klinik. Pula Mama adalah orang pertama yang panik bahkan ditelepon pun sudah kedengaran hebohnya.

"Ini kenapa bisa gini? Ya Allah, Jen ini masmu kenapa?!"

"Nggak apa-apa Ma," jawab Jefri cepat sebelum si Mama makin heboh. Jefri sudah cukup malu dengan perkara kecelakaannya maka dia tidak mau tambah malu. "Cuma jatuh doang"

"Jatuh macem apa yang sampe perbanan gini?!" sentak Mama seraya menunjuk tangan Jefri. "Ya Allah..."

"Udah Ma, udah. Mas Iyan juga udah diobatin" timpal Jeno menenangkan. Pula Mama cuma melihat ke Jeno sekilas sebelum mengalihkan pandangan ke Jefri. Entah apa yang beliau pikirkan, atau rasakan, yang jelas Jefri tidak berani mendongak.

"Ya udah, yang penting kamu nggak pa-pa" kata Mama setelahnya. Tangannya meraih lengan Jefri seiring suara beliau melunak.

"Yang mana yang sakit?" tanya Mama setelahnya. Beliau lantas membelai lengan Jefri pun Jefri belum mau mengangkat muka. Dia masih merasakan usapan Mama seiring matanya menangkap sendal yang dipakai Mamanya tidak sama. Yang kanan jepit sedang yang kiri selop. Literally sebelahan.

"Yang ini masih sakit, Yan?" tanya beliau lagi pun detik itu Jefri seketika merasa beku. Dia tidak tahu harus bagaimana seiring gelenyar aneh pelan-pelan menjalari dadanya. Mama dan sendal sebelahannya, Mama yang sepanik, yet se-reckless itu, seketika meningkatkan urgensi Jefri untuk mau menghambur ke pelukan beliau. Ngadu kalau semuanya sakit. Kaki, tangan, semuanya sakit.

Pun tanpa Jefri mengadu, Mama tahu seiring belum satu jam mereka pulang, beliau sudah sigap membuatkan bubur. Lengkap dengan bawang goreng yang sesungguhnya starter pack Jefri pas sakit.

Tiap Jefri sakit dan nggak nafsu makan, bawang goreng selalu bisa jadi penyelamat. Mulutnya literally jadi nggak pahit-pahit amat dengan bawang goreng. Tapi kan sekarang, sebenarnya Jefri nggak sakit... ya memang sakit, tapi itu patah tulang dimana nggak ngaruh ke nafsu makannya. Literally, misal dibeliin bakso dua mangkok pun Jefri masih bisa habis. Jadi sebenarnya, bubur itu nggak perlu, apalagi bawang gorengnya... tapi mana mungkin Jefri menolak? Mama dan masakannya, beliau yang literally selalu berlebihan, rasanya sama hangat dengan mendapat pelukan. Pun low-key Jefri merindukan semua itu. Maka perkara disuapi, ya Jefri malu sih, but he's cool about it. Sesungguhnya disuapi Mama bikin makan lebih kenyang. Pula daripada malu, sebenarnya Jefri lebih merasa bersalah.

raison d'être ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang